Kamis, 16 November 2017

RESUME BUKU KEBUDAYAAN DAN MENTALITAS PEMBANGUNAN KOENTJORONINGRAT

Kebudayaan dalam arti yang sangat luas yaitu adalah seluruh total pikiran,  karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar dari nalurinya dan yang hanya itu bisa dicetuskan oleh manusia setelah proses belajar. Karenademikian luasnya, makaguna keperluan analisis konsep kebudayaan itu perlu dipecah ke dalam suatu unsur-unsur. Unsur yang eprtama disebut “unsur kebudayaan yang universal”. Unsur kebudayaan secara universal dapat dilihat pada seluruh lapisa masyarakat dai pedesaan hingga perkotaan. Unsur-unsur kebudayaan universal tersebut antara lain: sistem religi dan upacara kebudayaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan.
Kebudayaan mempunyai sedikitnya tiga wujud, ada ideel, aktivitas, dan benda. Wujud kebudayaan dalam ideel adalah sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, dan berada dalam pikiran setiap warga. Bila pikiran itu dituangkan dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan itu berada dalam karangan buku-buku hasil karya penulis. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adat tata kelakuan, atau adat, atau adat istiadat yang berfungsi mengatur, mengendalikan, member arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
Mengenai aktivitas, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujudnya sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lainnya. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Lalu ada wujud kebudayaan benda, yaitu wujud kebudayaannya sebagai benda-benda hasil karya manusia. Maksudnya kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak. Karena seluruh total dari hasil fisik aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling kongkret dan berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu sama lain. Kebudayaan ideal dan kebudayan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia yang menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatan dan mempengaruhi cara berpikirnya.
Wujud dari kebudayaan yang menghasilkan adat membuat sebagian para ahli membedakan pengertian antara kebudayaan dan adat. Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang dapat diartika hal-hal yang menyangkut denga budi dan akal, salah satu definisi kebudayaan yakni keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakanya dengan belajar, beserta kesluruhandari hasil budi dan karya itu. Kebudayaan merupakan hasil total dari apa yang dihasilkan oelh anusia sejak zaman dia muncul hingga sekarang.
Peradaban dapat kita sejajarkan dengan kata civilitation, istilah itu biasanya dipakai untuk menyebutkan unsur kebudayaan yang halus dan indah. Peradaban juga sering digunakanuntuk menyebutkan suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem ke negaraan serta ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Sedangkan perbedaan adat dan kebudayaan berkaitan dengan 3 wujud kebudayaan (ideel, kelakuan, dan fisik). Adat adalah wujud dari ideel dari kebudayaan, sehingga wujud tersebut dapat kita sebut adat kelakuan. Adat dapat dibagi menjadi 4 tingkatan, tingkat pertama adalah tingkat nilai budaya, yaitu lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan bermasyarakat. Tingkat ini disebut sistem nilai budaya. Lalu tingkat kedua yaitu norma-norma. Norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tingkat ketiga adalah tingkat hukum. Hukum sudah jelas mengenai bermacam-macam sektor hidup yang sudah terang batas-batas ruang lingkupnya. Dan tingkat keempat adalah tingkat aturan khusus, yaitu aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini, amat konkrit sifatnya dan banyak diantaranya terkait dalam tingkat hukum.
Dalam kebudayaan dikenal pranata kebuadayaan. Adapun pranata itu mengenai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola dapat dirinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam masyarakatnya. Suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola beserta komponen-komponennya ialah sistem norma dan tata kelakuannya serta peralatannya ditambah dengan manusia atau personal yang melakukan kelakuan berpola itulah yang merupakan suatu pranata. Dibawah ini  terdapat beberapa puluh golongan pranata kebudayaan yang kemudian digolongkan dalam 8 golongan, antara lain
1.      Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuha hidup kekerabatan (domestic institution), contohnya perkawinan.
2.      Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi manusia (economic institution), contohnya pertanian, peternakan.
3.      Pranata-pranata yang bertujuan untuk kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia (edication institution), contonya TK hingga bangku kuliah.
4.      Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia (science institution), contonya penelitian.
5.      Pranata-pranata yeng bertujuan untuk memenuhi kebutuah kreasi dan keindahan dari manusia (aesthic and recreational institution), contohnya seni rupa.
6.      Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan religius manusia (religius institution), contohnya upacara keagamaan.
7.      Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia dalam mngatur kehidupan berkelompok (political institution), contohnya pemerintahan.
8.      Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmani manusia (somatic institution), contohnya kecantikan dan pemeliharaan kesehatan.
Dalam buku ini, dijelaskan perbedaan antara adat sebagai wujud kebudayaan dan hukum adat. Sifat dasar dari hukum adat dapat digolongkan ke dalam dua golongan. Golongan yang pertama beranggapan bahwa dalam masyarakat yang terbelakang tidak ada aktivitas hukum. Anggapan itu disebabkan karena para ahli antropologi menyempitkan definisi tentang hukum itu pada aktivitas-aktivitas hukum yang ada pada masyarakat yang maju saja. Dipandang dari sudut itu maka aktivitas hukum akan berupa suatu sistem penjagaan tata tertib masyarakat yang bersifat memaksa. Untuk itu, hukum perlu disokong oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan yang diorganisir oleh suatu negara. Apabila dalam suatu masyarakat terbelakang tak ada suatu sistem yang dapat disamakan dengan itu, maka dalam masyarakat itu memang tidak ada sistem hukumnya.
Golongan kedua tidak mengkhususkan definisi tentang hukum, tetapi hanay kpada hukum dalam masyarakat bergnegara dengan suatu sostem alat-alat kekuasaan saja. Menurut antropolog terkenal B. Malinowski, berdasarkan beragamnya masyarakat dan kebudayaan di dunia maka semua aktivitas kebudayaan itu berfungsi untuk memenuhi suatu rangkaian hasrat naluri dari manusia. Adapun di antara berbagai macam aktivitas kebudayaan itu ada yang mempunyai fungsi memenuhi hasrat naluri manusia untuk secara timbal balik memberi kepada dan menerima dari sesamany, berdasarkan prinsip yang oleh Malinowsi disebut principle of reciprocity. Di antara aktivitas-aktivitas kebudayaan yang berfungsi serupa itu termasuk hukum sebagai unsur kebudayaan yang universal.
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus dianggap bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih kongkret, seperti aturan-aturan khusus serta hukum dan norma yang berpedoman kepada sistem nilai budaya. Sebagai bagian dari adat istiadat dan wujud ideal dari kebudayaan, sistem nilai budaya seolah-olah berada di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat.
Sikap mental adalah istilah kedua setelah sistem nilai budaya. Konsep sistem nilai budaya banyak dipakai dalam ilmu-ilmu sosial yang terutama memfokuskan kepada kebudayaan dan masyarakat serta kepada manusia sebagai invidu dalam masyarakat. Sebaliknya, konsep sikap mental sering dipakai dalam ilmu psikologi, yang terutama memfokuskan kepada individu dan secara sekunder kepada kebudayaan dan masyarakat yang merupakan lingkungan dari individu. Suatu sikap adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk berreaksi terhadap lingkungan. Walaupun berada dalam diri seorang individu, sikap itu biasanya dipengaruhi oleh nilai budaya dan sering juga bersumber kepada sitem nilai budaya.
Istilah lain adalah mentalitas. Yaitu suatu istilah sehari-hari dan biasanya diartikan sebagai keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam menanggapi lingkungannya. Pokoknya, istilah itu mengenai sistem nilai budaya maupun sikap mentalitas dan bisa kita pakai bila membicarakan kedua kedua hal tersebut tanpa maksud untuk mengutamakan salah satu dari kedua hal tersebut.
Suatu sistem nilai budaya biasanya dianut oleh suatu sistem nilai budaya biasanya dianut oleh suatu persentasi yang besar dari warga sesuatu masyarakat. Sebaliknya, karena berada dalam jiwa individu, suatu sikap sering hanya ada pada individu-individu. Suatu sikap sering hanya ada pada individu-individu tertentu dalam masyarakat. Walaupun demikian, ada juga sikap-sikap tertentu yang karena terpengaruh oleh sistem nilai budaya bisa didapatkan secara lebih meluas pada banyak individu dalam masyarakat.
Mengenai mentalitas pembangunan, Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa sebelum benar-benar mengerti apa itu mentalitas pembangunan kita harus terlebih dahulu dengan jelas mengetahui bentuk masyarakat seperti apa yang ingin dicapai dengan pembangunan. Suatu mentalitas yang bermutu tinggi dan ketelitian itu sebenarnya memerlukan suatu orientasi nilai budaya yang bernilai tinggi dari karya manusia. Sasaran orientasi dari karya seharusnya merupakan asal dari karya itu sendiri dan bukan hasil berupa harta untuk dikonsumsi, atau hasil berupa kedudukan sosial yang menambah gengsi. Nilai budaya yang perlu dikembangkan oleh setiap bangsa yang ingin memperbesar takanan intensitas usahanya guna mempertinggi produksinya dan menjadikan rakyat makmur. Hal itu adalah terutama nilai budaya yang menilai tinggi usaha orang yang dapat mencapai hasil sebesar mungkin dari usahanya sendiri. Suatu nilai semacam itu apabila diekstrimkan akan ada bahaya ke arah individualisme dan lebih bahaya lagi mengarah ke isolisme.
Dalam hal membicarakan kelemahan-kelemahan dalam mentalitas kita untuk pembangunan, perlu dibedakan antara dua hal, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, dan sikap mental terhadap lingkungan kita yang sudah lama mengendap dalam alam pikiran kita. Mengendap dalam alam pikiran kita karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya kita sejak beberapa generasi yang lalu. Yang kedua, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan kita yang baru timbul sejak zaman revolusi dan yang sebenarnya tidak bersumber pada sistem nilai budaya kita.
Menurut Koentjoroningrat jika apa yang dimaksud gotong royong adalah aktivitet-aktivitet tolong menolong dan sistem tukar menukar tenaga antara individu maka sudah tentu gotong royong tak ada banyal sangkut pautnya dengan dengan pembangunan dan tidak mengganggu pembangunan. Bila yang dimaksud adalah kerja bakti maka mungkin malah bisa menunjang pembangunan. Tetapi sistem tersebut dudah tidak sesuai legi dengan zaman sekarang, hal tersebut dikarenakan sistem tersebut berbau pembangunan secara feodal atau kolonialisme. Berebeda apabila gotong royong dilakukan secara rela tanpa pamrih aka justru akan bermanfaat bagi individu tersebut.  Namun apabila gotong royong merupakan seperti suatu konsep hakekat manusia dengan sesamanya seperti yang diungkapkan koentjoroningrat maka akan dapat menghambat pembangunan. Apa yang bisa kita mbil dari gotong royong untuk pembangunan sekarang adalah semangatnya.
Berhasil tidaknya suatu mentalitas pembangunan tergantung kepada bisa tidaknya suatu bangsa menghindari kelemahan-kelemahan dan berani melaksanakan hal-hal yang baik. Di antaranya, gotong royong. Konsep gotong royong merupakan suatu konsep yang erat hubungannya dengan kehidupan rakyat kita sebagai petani dalam masyarakat agraris. Dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem pengarahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga. Terangkatnya konsep gotong royong ke dalam nilai bangsa kita dimulai ketika panitia persiapan kemerdekaan dalam zaman Jepang mengangkat konsep gotong royong itu menjadi suatu unsur yang amat penting dalam rangkaian prinsip-prinsip dasar negara kita. Konsep gotong royong dan konsep lainnya yang diambil dari kehidupan masyarakat desa merupakan faktor pendorong pembangunan negara kita.
Sebagian orang menganggap bahwa mentalitas pembangunan kita masih terlalu rendah, untuk itu Koentjaraningrat menulis empat jalan untuk merubah dan membina suatu mentalitas yang berjiwa pembangunan. Keempat jalan itu adalah dengan memberi contoh yang baik, dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok dengan persuasi dan penerangan, dan dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang. Pembangunan mentalitsa suatu bangsa tidak bisa lepas dari partisipasi rakyat terutama rakyat pedesaan. Yaitu partisipasi dalam aktivitas bersama dalam proyek pembangunan dan partisipasi sebagai individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan.
Timbulah pertanyaan apakah sebenarnya tujuan pembangunan kita????? Pertanyaan tersebut sukar untuk dijawab karena keadaan negara kita sudah terlampau parah, ekonomi sudah terlampau berantakan, dan rakyat sudah terlampau menderita.dengan memahami akibat-akibat dan bahaya dari kemakmuran serta demokrasi yang terlalu extremdan dengan mempelajari gejala-gejala di negara yang telah mebangun lebih dahulu daripada kita.
Beberapa ahli menyatakan bahwa kita seharusnya meniru pola pembangunan Jepang karena Jepang mempunyai sifat-sifat keseragaman yang amat besar dari kebudayaan Jepang, pendorong psikologis yang memberi motivasi kepada orang Jepang untuk pe mbangunan, kesiap-siagaan mental orang Jepang ketika memutuskan untuk memulai pembangunan, sistem hukum adat waris dalam masyarakat Jepang yang amat cocok untuk memecahkan masalah tenaga kerja pada permulaan pembangunan, dan agama Shinto yang amat mendorong kegiatan manusia dalam dunia yang fana ini untuk pembangunan. Karena mempunyai sifat-sifat itu, Jepang menganggap pembangunan kita pada khususnya dan pembangunan negara-negara Asia pada umumnya sangat lemah. Untuk itu, Jepang mempunyai ambisi untuk menjadi pemimpin Asia. Di sinilah para ahli menyatakan tidak perlu meniru bangsa Jepang.
Dalam melakukan pembangunan, negara kita seringkali terlena dengan modernisasi dan westernisasi. Sebagian orang menganggap modernisasi sama dengan westernisasi. Modernisasi adalah istilah untuk menyebut konsep yang berusaha hidup sesuai zaman dan konstelasi dunia sekarang. Untuk orang Indonesia hal itu berarti merubah berbagai sifat dalam mentalitasnya yang cocok denga kehidupan zaman sekarang dan membiasakan diri dengan sifat-sifat mental yang dimiliki oleh bangsa barat. Sedangkan, westernisasi adalah usaha pengambilan alih unsur-unsur kebudayaan barat. Maka dari itu, westernisasi bukan modernisasi. Dalam membangun mentalitas bangsa, Indonesia membutuhkan modernisasi bukan westernisasi.
Buku ini diakhiri dengan membedakan antara agama, religi, dan kepercayaan. Ia menggunakan istilah religi untuk istilah agama. Karena menurutnya, memakai istilah religi adalah netral dan menghindari istilah agama yang bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Religi itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan yang memiliki empat komponen yaitu: emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritual dan upacara, serta umat atau kesatuan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Selasa, 14 November 2017

TANAM PAKSA DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF SOSIAL DAN EKONOMI

Penulisan ini dilihat dari persfektif sosial dan ekonomi. Perspektif sosial pada kehidupan masyarakat Hindia Belanda selama program Tanam Paksa ini berlangsung. Dan pada perspektif ekonomi dilihat dari dampak yang dialami masyarakat Hindia Belanda dan juga keuntungan yang diterima Negara Belanda. Adanya Tanam Paksa di karenakan kesulitan keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Oleh karena hal tersebut sistem Tanam Paksa terjadi pada tahun 1830, hingga dikeluarkanya Undang-Undang Gula pada tahun 1870 sebagai akibat dari banyaknya penyelewengan yang terjadi pada sistem Tanam Paksa. Dikeluarkanua Undang-Undang Gula tersebut menandai berakhirnya sistem Tanam Paksa di Hindia Belanda. Berdasarkan hal tersebut Tanam Paksa dimulai dari tahun 1830 hingga 1870 di Hindia Belanda dan difokuskan di tanah Jawa.
Dalam mengembalikan finansial Belanda yang bengkak dikarenakan pengeluaran begitu besar saat melawan pemberontakan Diponegoro dan juga perang dengan Belgia, maka pemerintahan Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau Jawa. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem Tanam Paksa. Tentang gagasan awal diberlakuan sistem ini, Niel menjelaskan, kurun waktu sampai tahun 1830 menunjukkan banyak perubahan kebijakan politik pemerintahan Eropa di Jawa. Dengan menyebut beberapa nama penting seperti Deandeles, Raffles, Van der Capellen, dan Du Bus (Van den Bosch) mengingatkan pada usaha-usaha pengembangan suatu strategi agar tanah jajahan mendatangkan keuntungan. 
Johannes Van Den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi Gubernur Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830. Sistem Tanam Paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan di Jawa. Sistem  Tanam Paksa (Cultuurstelsel) merupakan sebuah eksperimen unik dalam rekayasa sosio-ekonomi.  Van den Bosch  adalah salah satu orang dari Belanda yang diangkat menjadi Komisaris Jenderal yang memiliki kekuasaan luar biasa, yang pada saat itu menguasai sepenuhnya di Indonesia. Ia menerapkan Sistem Tanam Paksa untuk orang-orang pribumi Jawa guna sebagai bentuk pembaharuan dari sistem sebelumnya yang pernah mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya, yaitu sistem pajak tanah. Sebelumnya, pelaksanaan sistem ini  menimbulkan beberapa sikap buruk yang dimiliki dari orang Belanda, diantaranya Belanda tidak dapat menciptakan hubungan baik dengan pihak petani Jawa, sehingga kekerabatan antara mereka tidak terjalin dengan baik. Belanda juga tidak mencoba untuk mendekati para bupati dan kepala desa, yang nantinya dapat membantu mereka untuk mengekspor  tanaman-tanaman yang terdapat di Jawa untuk dimanfaatkan pihak Belanda sendiri. 
Gubernur Jendral Van Den Bosch memberlakukan system ini dengan mengambil pelajaran dari system pajak tanah yang gagal pada era sebelumnya oleh Raffles, dari system pajak tanah yang tidak mampu membuat para penduduk pribumi meningkatkan tanaman ekspor maka Gubernur Jendral van den Bosch mecoba untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan mengadakan kerjasama dengan para Bupati dan pejabat daerah yang dekat dengan rakyat. Artinya system feodal di pedesaan harus dimanfaatkan agar para petani mampu menghasilkan tanaman ekspor yang banyak, untuk itulah Gubernur Jendral van den Bosch mencoba untuk mengadakan kerjasama dengan para pegawai pemerintahan yang dekat dengan petani. System Tanam Paksa ini bisa dikatakan sebagai bentuk pembaharuan dari system pajak tanah yang pernah dilakukan oleh VOC selama dua abad. Hal ini dikarenakan para penduduk pribumi juga dikenakan pajak oleh Gubernur Jendral van den Bosch, yang mana pajak yang dikenakan bukan berupa uang melainkan berupa tanaman ekspor yang telah mereka tanam.
Jenis-jenis tumbuhan yang diwajibkan oleh pemerintah untuk ditanam ialah kopo, tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, lada dan ubi kayu. Tanaman-tanaman sejenis ini menjadikan Indonesia produksi ekspor. Agar diketahui sebenarnya beberapa tumbuhan tersebut bukanlah tumbuha asli Indonesia akan tetapi meriupakan tumbuhan yeng benihnya di impor dari berbagai negara di dunia. Seperti teh yang di impor dari Cina dan Jepang yang memang terkenal sebagai negara penghasil teh dengan kualitas tinggi, tembakau diprekenalkan ke Asia oleh Spanyol lewat Filipina, lada dan kayu manis yang di impor dari Ceylon (Sri Lanka), dan ubi kayu yang dimasukan dari Amarika oleh Spanyol. 
Sistem ini bukan hanya mendatangkan pemasukan besar bagi perbendaharaan pemerintah Belanda, tapi juga berhasil mempromosikan perniagaan dan perkapalan Belanda. Antara tahun 1831 dan 1877 perbendaharaan Belanda menerima 823 juta gulden dari Hindia. Sebagian besar dari uang ini dipakai untuk melunasi hutang kolonial. Sisanya dipakai untuk membayar hutang Belanda pada perang Belgia, serta membangun rel kereta api dan pekerjaan umum. 
Ciri utama dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem Tanam Paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
  1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
  2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
  3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
  4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
  6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pemerintah.
  7. Pelaksanaan Tanam Paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas. (Poesponegoro, et al. 1993:99)

Jika peraturan-peraturan tersebut dilihat dari ketentuan atau aturannya, maka tidak kelihatan membebankan rakyat. Peraturan tersebut seperti memberi beban yang ringan. Namun, yang terpenting bukanlah peraturannya melainkan pelaksanaan cultuurstelsel itu sendiri. Seringkali terjadi banyak penyimpangan, sehingga rakyat banyak dirugikan, kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan nomor 7 tersebut. 
Pemerintahan yang diterapkan oleh Van den Bosch masih dianggap kurang efektif, karena Ia menggunakan kekuasaan feodal yang memberikan kuasa penuh kepada bupati, sehingga kekuasaan otoriter berada ditangan pemerintah Hindia Belanda yang merupakan bentukan dari kolonial Belanda. Pada akhirnya Perjanjian dengan rakyat mengenai tanah tidak ditepati. Di dalam perjanjian ini  yang seharusnya ada unsur sukarela, di dalam pelaksanaanya mengandung paksaan. Letak dan luasnya tanah ditentukan dengan sewenang-wenang oleh penguasa, membuat istilah perjanjian tidak berarti lagi. 
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
  1. Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
  2. Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
  3. Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
  4. Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan (Niel, 2003:128).

Penyimpangan-penyimpangan aturan Tanam Paksa diatas, terjadi karena adanya cultuur procenten yaitu hadiah atau bonus bagi pelaksana sistem Tanam Paksa yang dapat menyerahkan hasil tanaman melebihi ketentuan yang telah ditetapkan.Oleh karena itu, para Bupati dan kepala desa menyerahkan hasil tanaman yang sebanyak-banyaknya. Mereka memaksa penduduk desa untuk menanam melebihi ketentuan yang berlaku. Selain itu, rakyat juga dibebani pekerjaan yang lebih lama dari pada waktu yang telah ditentukan. Bagi rakyat yang dianggap tidak mematuhi kehendak para petugas akan dijatuhi hukuman. Kalaupun tidak dihukum mereka diancam akan dilaporkan kepada Pemerintah Belanda sebagai pembangkang dan pemberontak. 
Banyak kerugian yang diperoleh dari Sistem Tanam Paksa ini, dampak tersebut sangat terasa bagi kaum pribumi. Karena mereka tidak tahu aturan main yang dibuat oleh Belanda untuk menguasai wilayah Jawa. Kemiskinan mulai nampak dari sistem ini. Beban yang diletakkan di punggung rakyat oleh sistem itu berat sekali. Karena itu timbullah kemelaratan yang akibatnya dapat pula membawa kematian dan pemusnahan sebagian penduduk daerah tertentu. Contoh dari bahaya kelaparan yang berat dan mengerikan yang pernah terjadi ialah di Cirebon (1844), Demak (1848), Gerobogan (1849). 
Akibat dari tidak kekonsistensian peraturan sistem Tanam Paksa yang terjadi di jawa menimbulkan reaksi dari beberapa tokoh antarannya yakni Douwes Dekker dan Baron Van Howvel serta Frans Van De Putte. Douwes Dekker adalah seorang residen di Lebak, Serang, Jawa Barat. Ia sangat sedih menyaksikan buruknya nasib bangsa Indonesia akibat Sistem Tanam Paksa. Ia menulis buku berjudul Max Havelar yang terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia memakai nama samaran “Multatuli”. Isi buku tersebut melukiskan penderitaan rakyat Indonesia akibat pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Tulisan Douwes Dekker menyebabkan orang Belanda menjadi terbuka melihat keburukan Sistem Tanam Paksa dan menghendaki agar Sistem Tanam Paksa dihapuskan. 
Semula Baron van Hoevel tinggal di Jakarta. Kemudian pulang ke Negeri Belanda menjadi anggota parlemen. Selama tinggal di Indonesia, ia mengetahui banyak tentang penderitaan bangsa Indonesia akibat Sistem Tanam Paksa. Baron van Hoevel bersama dengan Fransen van de Putte menentang Sistem Tanam Paksa. Fransen van de Putte menulis buku berjudul Suiker Contracten (kontrak kontrak gula). Kedua tokoh ini berjuang keras untuk menghapuskan Sistem Tanam Paksa melalui parlemen BeIanda . Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem Tanam Paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan. 

DAFTAR PUSTAKA
Dekker, N. 1992. Sejarah Pergolakan Indonesia dalam Abad XIX. Malang: FPIPS IKIP MALANG.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Niel, Robert Van. 2003. Sistem Tanam Paksa Di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Vlekke, Bernard H.M. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: PT Gramedia