Kebudayaan dalam
arti yang sangat luas yaitu adalah seluruh total pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak
berakar dari nalurinya dan yang hanya itu bisa dicetuskan oleh manusia setelah
proses belajar. Karenademikian luasnya, makaguna keperluan analisis konsep
kebudayaan itu perlu dipecah ke dalam suatu unsur-unsur. Unsur yang eprtama
disebut “unsur kebudayaan yang universal”. Unsur kebudayaan secara universal
dapat dilihat pada seluruh lapisa masyarakat dai pedesaan hingga perkotaan.
Unsur-unsur kebudayaan universal tersebut antara lain: sistem religi dan
upacara kebudayaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan.
Kebudayaan
mempunyai sedikitnya tiga wujud, ada ideel, aktivitas, dan benda. Wujud
kebudayaan dalam ideel adalah sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Ini merupakan wujud ideal
dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, dan berada dalam pikiran setiap warga. Bila
pikiran itu dituangkan dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan itu berada
dalam karangan buku-buku hasil karya penulis. Kebudayaan ideal ini dapat
disebut adat tata kelakuan, atau adat, atau adat istiadat yang berfungsi
mengatur, mengendalikan, member arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia
dalam masyarakat.
Mengenai
aktivitas, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat. Wujudnya sering disebut sistem sosial, mengenai
kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu
dengan yang lainnya. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam masyarakat, maka
sistem sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Lalu ada wujud kebudayaan benda,
yaitu wujud kebudayaannya sebagai benda-benda hasil karya manusia. Maksudnya
kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak. Karena seluruh total dari
hasil fisik aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat,
maka sifatnya paling kongkret dan berupa benda-benda yang dapat diraba,
dilihat, dan difoto.
Ketiga wujud
dari kebudayaan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu
tidak terpisah satu sama lain. Kebudayaan ideal dan kebudayan adat istiadat
mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik
pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia yang
menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu
membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan
manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola
perbuatan dan mempengaruhi cara berpikirnya.
Wujud dari
kebudayaan yang menghasilkan adat membuat sebagian para ahli membedakan
pengertian antara kebudayaan dan adat. Kata kebudayaan berasal dari bahasa
sansekerta buddhayah yang dapat diartika
hal-hal yang menyangkut denga budi dan akal, salah satu definisi kebudayaan
yakni keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakanya dengan
belajar, beserta kesluruhandari hasil budi dan karya itu. Kebudayaan merupakan
hasil total dari apa yang dihasilkan oelh anusia sejak zaman dia muncul hingga
sekarang.
Peradaban dapat kita sejajarkan
dengan kata civilitation, istilah itu
biasanya dipakai untuk menyebutkan unsur kebudayaan yang halus dan indah.
Peradaban juga sering digunakanuntuk menyebutkan suatu kebudayaan yang
mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem ke negaraan serta
ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Sedangkan
perbedaan adat dan kebudayaan berkaitan dengan 3 wujud kebudayaan (ideel,
kelakuan, dan fisik). Adat adalah wujud dari ideel dari kebudayaan, sehingga
wujud tersebut dapat kita sebut adat kelakuan. Adat dapat dibagi menjadi 4
tingkatan, tingkat pertama adalah tingkat nilai budaya, yaitu lapisan yang
paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang
mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan bermasyarakat.
Tingkat ini disebut sistem nilai budaya. Lalu tingkat kedua yaitu norma-norma.
Norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu
dari manusia dalam masyarakat. Tingkat ketiga adalah tingkat hukum. Hukum sudah
jelas mengenai bermacam-macam sektor hidup yang sudah terang batas-batas ruang
lingkupnya. Dan tingkat keempat adalah tingkat aturan khusus, yaitu
aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan
terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya
aturan-aturan khusus ini, amat konkrit sifatnya dan banyak diantaranya terkait
dalam tingkat hukum.
Dalam kebudayaan
dikenal pranata kebuadayaan. Adapun pranata itu mengenai kelakuan berpola dari
manusia dalam kebudayaannya. Seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola
dapat dirinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia dalam masyarakatnya. Suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola
beserta komponen-komponennya ialah sistem norma dan tata kelakuannya serta
peralatannya ditambah dengan manusia atau personal yang melakukan kelakuan
berpola itulah yang merupakan suatu pranata. Dibawah ini terdapat beberapa puluh golongan pranata
kebudayaan yang kemudian digolongkan dalam 8 golongan, antara lain
1. Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuha hidup kekerabatan (domestic institution), contohnya perkawinan.
2. Pranata-pranata
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi manusia (economic institution), contohnya pertanian, peternakan.
3. Pranata-pranata
yang bertujuan untuk kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia (edication institution), contonya TK
hingga bangku kuliah.
4. Pranata-pranata
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia (science institution), contonya penelitian.
5. Pranata-pranata
yeng bertujuan untuk memenuhi kebutuah kreasi dan keindahan dari manusia (aesthic and recreational institution),
contohnya seni rupa.
6. Pranata-pranata
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan religius manusia (religius
institution), contohnya upacara keagamaan.
7. Pranata-pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia dalam mngatur kehidupan berkelompok
(political institution), contohnya pemerintahan.
8. Pranata-pranata
yang mengurus kebutuhan jasmani manusia (somatic institution), contohnya
kecantikan dan pemeliharaan kesehatan.
Dalam buku ini,
dijelaskan perbedaan antara adat sebagai wujud kebudayaan dan hukum adat. Sifat
dasar dari hukum adat dapat digolongkan ke dalam dua golongan. Golongan yang
pertama beranggapan bahwa dalam masyarakat yang terbelakang tidak ada aktivitas
hukum. Anggapan itu disebabkan karena para ahli antropologi menyempitkan
definisi tentang hukum itu pada aktivitas-aktivitas hukum yang ada pada masyarakat
yang maju saja. Dipandang dari sudut itu maka aktivitas hukum akan berupa suatu
sistem penjagaan tata tertib masyarakat yang bersifat memaksa. Untuk itu, hukum
perlu disokong oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan yang diorganisir oleh
suatu negara. Apabila dalam suatu masyarakat terbelakang tak ada suatu sistem
yang dapat disamakan dengan itu, maka dalam masyarakat itu memang tidak ada
sistem hukumnya.
Golongan kedua
tidak mengkhususkan definisi tentang hukum, tetapi hanay kpada hukum dalam
masyarakat bergnegara dengan suatu sostem alat-alat kekuasaan saja. Menurut
antropolog terkenal B. Malinowski, berdasarkan beragamnya masyarakat dan
kebudayaan di dunia maka semua aktivitas kebudayaan itu berfungsi untuk
memenuhi suatu rangkaian hasrat naluri dari manusia. Adapun di antara berbagai
macam aktivitas kebudayaan itu ada yang mempunyai fungsi memenuhi hasrat naluri
manusia untuk secara timbal balik memberi kepada dan menerima dari sesamany,
berdasarkan prinsip yang oleh Malinowsi disebut principle of reciprocity. Di
antara aktivitas-aktivitas kebudayaan yang berfungsi serupa itu termasuk hukum
sebagai unsur kebudayaan yang universal.
Sistem nilai
budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai
budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus dianggap bernilai dalam
hidup. Karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih kongkret, seperti
aturan-aturan khusus serta hukum dan norma yang berpedoman kepada sistem nilai
budaya. Sebagai bagian dari adat istiadat dan wujud ideal dari kebudayaan,
sistem nilai budaya seolah-olah berada di luar dan di atas diri para individu
yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil
telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya
sehingga konsepsi-konsepsi sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka.
Itulah sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya
lain dalam waktu singkat.
Sikap mental
adalah istilah kedua setelah sistem nilai budaya. Konsep sistem nilai budaya
banyak dipakai dalam ilmu-ilmu sosial yang terutama memfokuskan kepada
kebudayaan dan masyarakat serta kepada manusia sebagai invidu dalam masyarakat.
Sebaliknya, konsep sikap mental sering dipakai dalam ilmu psikologi, yang
terutama memfokuskan kepada individu dan secara sekunder kepada kebudayaan dan
masyarakat yang merupakan lingkungan dari individu. Suatu sikap adalah suatu
disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk
berreaksi terhadap lingkungan. Walaupun berada dalam diri seorang individu,
sikap itu biasanya dipengaruhi oleh nilai budaya dan sering juga bersumber
kepada sitem nilai budaya.
Istilah lain adalah mentalitas.
Yaitu suatu istilah sehari-hari dan biasanya diartikan sebagai keseluruhan dari
isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam menanggapi
lingkungannya. Pokoknya, istilah itu mengenai sistem nilai budaya maupun sikap
mentalitas dan bisa kita pakai bila membicarakan kedua kedua hal tersebut tanpa
maksud untuk mengutamakan salah satu dari kedua hal tersebut.
Suatu sistem
nilai budaya biasanya dianut oleh suatu sistem nilai budaya biasanya dianut
oleh suatu persentasi yang besar dari warga sesuatu masyarakat. Sebaliknya,
karena berada dalam jiwa individu, suatu sikap sering hanya ada pada
individu-individu. Suatu sikap sering hanya ada pada individu-individu tertentu
dalam masyarakat. Walaupun demikian, ada juga sikap-sikap tertentu yang karena
terpengaruh oleh sistem nilai budaya bisa didapatkan secara lebih meluas pada
banyak individu dalam masyarakat.
Mengenai
mentalitas pembangunan, Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa sebelum benar-benar
mengerti apa itu mentalitas pembangunan kita harus terlebih dahulu dengan jelas
mengetahui bentuk masyarakat seperti apa yang ingin dicapai dengan pembangunan.
Suatu mentalitas yang bermutu tinggi dan ketelitian itu sebenarnya memerlukan
suatu orientasi nilai budaya yang bernilai tinggi dari karya manusia. Sasaran
orientasi dari karya seharusnya merupakan asal dari karya itu sendiri dan bukan
hasil berupa harta untuk dikonsumsi, atau hasil berupa kedudukan sosial yang
menambah gengsi. Nilai budaya yang perlu dikembangkan oleh setiap bangsa yang
ingin memperbesar takanan intensitas usahanya guna mempertinggi produksinya dan
menjadikan rakyat makmur. Hal itu adalah terutama nilai budaya yang menilai
tinggi usaha orang yang dapat mencapai hasil sebesar mungkin dari usahanya
sendiri. Suatu nilai semacam itu apabila diekstrimkan akan ada bahaya ke arah
individualisme dan lebih bahaya lagi mengarah ke isolisme.
Dalam hal membicarakan
kelemahan-kelemahan dalam mentalitas kita untuk pembangunan, perlu dibedakan
antara dua hal, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, dan sikap mental
terhadap lingkungan kita yang sudah lama mengendap dalam alam pikiran kita.
Mengendap dalam alam pikiran kita karena terpengaruh atau bersumber kepada
sistem nilai budaya kita sejak beberapa generasi yang lalu. Yang kedua, konsepsi-konsepsi,
pandangan-pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan kita yang baru timbul
sejak zaman revolusi dan yang sebenarnya tidak bersumber pada sistem nilai
budaya kita.
Menurut
Koentjoroningrat jika apa yang dimaksud gotong royong adalah
aktivitet-aktivitet tolong menolong dan sistem tukar menukar tenaga antara
individu maka sudah tentu gotong royong tak ada banyal sangkut pautnya dengan
dengan pembangunan dan tidak mengganggu pembangunan. Bila yang dimaksud adalah
kerja bakti maka mungkin malah bisa menunjang pembangunan. Tetapi sistem
tersebut dudah tidak sesuai legi dengan zaman sekarang, hal tersebut
dikarenakan sistem tersebut berbau pembangunan secara feodal atau kolonialisme.
Berebeda apabila gotong royong dilakukan secara rela tanpa pamrih aka justru
akan bermanfaat bagi individu tersebut.
Namun apabila gotong royong merupakan seperti suatu konsep hakekat
manusia dengan sesamanya seperti yang diungkapkan koentjoroningrat maka akan
dapat menghambat pembangunan. Apa yang bisa kita mbil dari gotong royong untuk
pembangunan sekarang adalah semangatnya.
Berhasil
tidaknya suatu mentalitas pembangunan tergantung kepada bisa tidaknya suatu
bangsa menghindari kelemahan-kelemahan dan berani melaksanakan hal-hal yang
baik. Di antaranya, gotong royong. Konsep gotong royong merupakan suatu konsep
yang erat hubungannya dengan kehidupan rakyat kita sebagai petani dalam
masyarakat agraris. Dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa, gotong royong
merupakan suatu sistem pengarahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga
untuk mengisi kekurangan tenaga. Terangkatnya konsep gotong royong ke dalam
nilai bangsa kita dimulai ketika panitia persiapan kemerdekaan dalam zaman
Jepang mengangkat konsep gotong royong itu menjadi suatu unsur yang amat
penting dalam rangkaian prinsip-prinsip dasar negara kita. Konsep gotong royong
dan konsep lainnya yang diambil dari kehidupan masyarakat desa merupakan faktor
pendorong pembangunan negara kita.
Sebagian orang
menganggap bahwa mentalitas pembangunan kita masih terlalu rendah, untuk itu
Koentjaraningrat menulis empat jalan untuk merubah dan membina suatu mentalitas
yang berjiwa pembangunan. Keempat jalan itu adalah dengan memberi contoh yang
baik, dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok dengan persuasi dan
penerangan, dan dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk
masa yang akan datang. Pembangunan mentalitsa suatu bangsa tidak bisa lepas
dari partisipasi rakyat terutama rakyat pedesaan. Yaitu partisipasi dalam
aktivitas bersama dalam proyek pembangunan dan partisipasi sebagai individu di
luar aktivitas bersama dalam pembangunan.
Timbulah
pertanyaan apakah sebenarnya tujuan pembangunan kita????? Pertanyaan tersebut
sukar untuk dijawab karena keadaan negara kita sudah terlampau parah, ekonomi
sudah terlampau berantakan, dan rakyat sudah terlampau menderita.dengan
memahami akibat-akibat dan bahaya dari kemakmuran serta demokrasi yang terlalu
extremdan dengan mempelajari gejala-gejala di negara yang telah mebangun lebih
dahulu daripada kita.
Beberapa ahli
menyatakan bahwa kita seharusnya meniru pola pembangunan Jepang karena Jepang
mempunyai sifat-sifat keseragaman yang amat besar dari kebudayaan Jepang,
pendorong psikologis yang memberi motivasi kepada orang Jepang untuk pe mbangunan,
kesiap-siagaan mental orang Jepang ketika memutuskan untuk memulai pembangunan,
sistem hukum adat waris dalam masyarakat Jepang yang amat cocok untuk
memecahkan masalah tenaga kerja pada permulaan pembangunan, dan agama Shinto
yang amat mendorong kegiatan manusia dalam dunia yang fana ini untuk
pembangunan. Karena mempunyai sifat-sifat itu, Jepang menganggap pembangunan
kita pada khususnya dan pembangunan negara-negara Asia pada umumnya sangat
lemah. Untuk itu, Jepang mempunyai ambisi untuk menjadi pemimpin Asia. Di
sinilah para ahli menyatakan tidak perlu meniru bangsa Jepang.
Dalam melakukan
pembangunan, negara kita seringkali terlena dengan modernisasi dan
westernisasi. Sebagian orang menganggap modernisasi sama dengan westernisasi.
Modernisasi adalah istilah untuk menyebut konsep yang berusaha hidup sesuai
zaman dan konstelasi dunia sekarang. Untuk orang Indonesia hal itu berarti
merubah berbagai sifat dalam mentalitasnya yang cocok denga kehidupan zaman
sekarang dan membiasakan diri dengan sifat-sifat mental yang dimiliki oleh
bangsa barat. Sedangkan, westernisasi adalah usaha pengambilan alih unsur-unsur
kebudayaan barat. Maka dari itu, westernisasi bukan modernisasi. Dalam
membangun mentalitas bangsa, Indonesia membutuhkan modernisasi bukan
westernisasi.
Buku ini
diakhiri dengan membedakan antara agama, religi, dan kepercayaan. Ia
menggunakan istilah religi untuk istilah agama. Karena menurutnya, memakai
istilah religi adalah netral dan menghindari istilah agama yang bukan merupakan
bagian dari kebudayaan. Religi itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan
yang memiliki empat komponen yaitu: emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem
ritual dan upacara, serta umat atau kesatuan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama