Penulisan ini dilihat dari persfektif sosial dan ekonomi. Perspektif sosial pada kehidupan masyarakat Hindia Belanda selama program Tanam Paksa ini berlangsung. Dan pada perspektif ekonomi dilihat dari dampak yang dialami masyarakat Hindia Belanda dan juga keuntungan yang diterima Negara Belanda. Adanya Tanam Paksa di karenakan kesulitan keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Oleh karena hal tersebut sistem Tanam Paksa terjadi pada tahun 1830, hingga dikeluarkanya Undang-Undang Gula pada tahun 1870 sebagai akibat dari banyaknya penyelewengan yang terjadi pada sistem Tanam Paksa. Dikeluarkanua Undang-Undang Gula tersebut menandai berakhirnya sistem Tanam Paksa di Hindia Belanda. Berdasarkan hal tersebut Tanam Paksa dimulai dari tahun 1830 hingga 1870 di Hindia Belanda dan difokuskan di tanah Jawa.
Dalam mengembalikan finansial Belanda yang bengkak dikarenakan pengeluaran begitu besar saat melawan pemberontakan Diponegoro dan juga perang dengan Belgia, maka pemerintahan Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau Jawa. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem Tanam Paksa. Tentang gagasan awal diberlakuan sistem ini, Niel menjelaskan, kurun waktu sampai tahun 1830 menunjukkan banyak perubahan kebijakan politik pemerintahan Eropa di Jawa. Dengan menyebut beberapa nama penting seperti Deandeles, Raffles, Van der Capellen, dan Du Bus (Van den Bosch) mengingatkan pada usaha-usaha pengembangan suatu strategi agar tanah jajahan mendatangkan keuntungan.
Johannes Van Den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi Gubernur Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830. Sistem Tanam Paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan di Jawa. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) merupakan sebuah eksperimen unik dalam rekayasa sosio-ekonomi. Van den Bosch adalah salah satu orang dari Belanda yang diangkat menjadi Komisaris Jenderal yang memiliki kekuasaan luar biasa, yang pada saat itu menguasai sepenuhnya di Indonesia. Ia menerapkan Sistem Tanam Paksa untuk orang-orang pribumi Jawa guna sebagai bentuk pembaharuan dari sistem sebelumnya yang pernah mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya, yaitu sistem pajak tanah. Sebelumnya, pelaksanaan sistem ini menimbulkan beberapa sikap buruk yang dimiliki dari orang Belanda, diantaranya Belanda tidak dapat menciptakan hubungan baik dengan pihak petani Jawa, sehingga kekerabatan antara mereka tidak terjalin dengan baik. Belanda juga tidak mencoba untuk mendekati para bupati dan kepala desa, yang nantinya dapat membantu mereka untuk mengekspor tanaman-tanaman yang terdapat di Jawa untuk dimanfaatkan pihak Belanda sendiri.
Gubernur Jendral Van Den Bosch memberlakukan system ini dengan mengambil pelajaran dari system pajak tanah yang gagal pada era sebelumnya oleh Raffles, dari system pajak tanah yang tidak mampu membuat para penduduk pribumi meningkatkan tanaman ekspor maka Gubernur Jendral van den Bosch mecoba untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan mengadakan kerjasama dengan para Bupati dan pejabat daerah yang dekat dengan rakyat. Artinya system feodal di pedesaan harus dimanfaatkan agar para petani mampu menghasilkan tanaman ekspor yang banyak, untuk itulah Gubernur Jendral van den Bosch mencoba untuk mengadakan kerjasama dengan para pegawai pemerintahan yang dekat dengan petani. System Tanam Paksa ini bisa dikatakan sebagai bentuk pembaharuan dari system pajak tanah yang pernah dilakukan oleh VOC selama dua abad. Hal ini dikarenakan para penduduk pribumi juga dikenakan pajak oleh Gubernur Jendral van den Bosch, yang mana pajak yang dikenakan bukan berupa uang melainkan berupa tanaman ekspor yang telah mereka tanam.
Jenis-jenis tumbuhan yang diwajibkan oleh pemerintah untuk ditanam ialah kopo, tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, lada dan ubi kayu. Tanaman-tanaman sejenis ini menjadikan Indonesia produksi ekspor. Agar diketahui sebenarnya beberapa tumbuhan tersebut bukanlah tumbuha asli Indonesia akan tetapi meriupakan tumbuhan yeng benihnya di impor dari berbagai negara di dunia. Seperti teh yang di impor dari Cina dan Jepang yang memang terkenal sebagai negara penghasil teh dengan kualitas tinggi, tembakau diprekenalkan ke Asia oleh Spanyol lewat Filipina, lada dan kayu manis yang di impor dari Ceylon (Sri Lanka), dan ubi kayu yang dimasukan dari Amarika oleh Spanyol.
Sistem ini bukan hanya mendatangkan pemasukan besar bagi perbendaharaan pemerintah Belanda, tapi juga berhasil mempromosikan perniagaan dan perkapalan Belanda. Antara tahun 1831 dan 1877 perbendaharaan Belanda menerima 823 juta gulden dari Hindia. Sebagian besar dari uang ini dipakai untuk melunasi hutang kolonial. Sisanya dipakai untuk membayar hutang Belanda pada perang Belgia, serta membangun rel kereta api dan pekerjaan umum.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem Tanam Paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
- Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
- Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
- Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
- Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari pembayaran pajak tanah.
- Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
- Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pemerintah.
- Pelaksanaan Tanam Paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas. (Poesponegoro, et al. 1993:99)
Jika peraturan-peraturan tersebut dilihat dari ketentuan atau aturannya, maka tidak kelihatan membebankan rakyat. Peraturan tersebut seperti memberi beban yang ringan. Namun, yang terpenting bukanlah peraturannya melainkan pelaksanaan cultuurstelsel itu sendiri. Seringkali terjadi banyak penyimpangan, sehingga rakyat banyak dirugikan, kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan nomor 7 tersebut.
Pemerintahan yang diterapkan oleh Van den Bosch masih dianggap kurang efektif, karena Ia menggunakan kekuasaan feodal yang memberikan kuasa penuh kepada bupati, sehingga kekuasaan otoriter berada ditangan pemerintah Hindia Belanda yang merupakan bentukan dari kolonial Belanda. Pada akhirnya Perjanjian dengan rakyat mengenai tanah tidak ditepati. Di dalam perjanjian ini yang seharusnya ada unsur sukarela, di dalam pelaksanaanya mengandung paksaan. Letak dan luasnya tanah ditentukan dengan sewenang-wenang oleh penguasa, membuat istilah perjanjian tidak berarti lagi.
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
- Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
- Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
- Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
- Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan (Niel, 2003:128).
Penyimpangan-penyimpangan aturan Tanam Paksa diatas, terjadi karena adanya cultuur procenten yaitu hadiah atau bonus bagi pelaksana sistem Tanam Paksa yang dapat menyerahkan hasil tanaman melebihi ketentuan yang telah ditetapkan.Oleh karena itu, para Bupati dan kepala desa menyerahkan hasil tanaman yang sebanyak-banyaknya. Mereka memaksa penduduk desa untuk menanam melebihi ketentuan yang berlaku. Selain itu, rakyat juga dibebani pekerjaan yang lebih lama dari pada waktu yang telah ditentukan. Bagi rakyat yang dianggap tidak mematuhi kehendak para petugas akan dijatuhi hukuman. Kalaupun tidak dihukum mereka diancam akan dilaporkan kepada Pemerintah Belanda sebagai pembangkang dan pemberontak.
Banyak kerugian yang diperoleh dari Sistem Tanam Paksa ini, dampak tersebut sangat terasa bagi kaum pribumi. Karena mereka tidak tahu aturan main yang dibuat oleh Belanda untuk menguasai wilayah Jawa. Kemiskinan mulai nampak dari sistem ini. Beban yang diletakkan di punggung rakyat oleh sistem itu berat sekali. Karena itu timbullah kemelaratan yang akibatnya dapat pula membawa kematian dan pemusnahan sebagian penduduk daerah tertentu. Contoh dari bahaya kelaparan yang berat dan mengerikan yang pernah terjadi ialah di Cirebon (1844), Demak (1848), Gerobogan (1849).
Akibat dari tidak kekonsistensian peraturan sistem Tanam Paksa yang terjadi di jawa menimbulkan reaksi dari beberapa tokoh antarannya yakni Douwes Dekker dan Baron Van Howvel serta Frans Van De Putte. Douwes Dekker adalah seorang residen di Lebak, Serang, Jawa Barat. Ia sangat sedih menyaksikan buruknya nasib bangsa Indonesia akibat Sistem Tanam Paksa. Ia menulis buku berjudul Max Havelar yang terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia memakai nama samaran “Multatuli”. Isi buku tersebut melukiskan penderitaan rakyat Indonesia akibat pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Tulisan Douwes Dekker menyebabkan orang Belanda menjadi terbuka melihat keburukan Sistem Tanam Paksa dan menghendaki agar Sistem Tanam Paksa dihapuskan.
Semula Baron van Hoevel tinggal di Jakarta. Kemudian pulang ke Negeri Belanda menjadi anggota parlemen. Selama tinggal di Indonesia, ia mengetahui banyak tentang penderitaan bangsa Indonesia akibat Sistem Tanam Paksa. Baron van Hoevel bersama dengan Fransen van de Putte menentang Sistem Tanam Paksa. Fransen van de Putte menulis buku berjudul Suiker Contracten (kontrak kontrak gula). Kedua tokoh ini berjuang keras untuk menghapuskan Sistem Tanam Paksa melalui parlemen BeIanda . Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem Tanam Paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Dekker, N. 1992. Sejarah
Pergolakan Indonesia dalam Abad XIX. Malang: FPIPS IKIP MALANG.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho.
1993. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Niel, Robert Van. 2003. Sistem Tanam Paksa Di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Vlekke, Bernard H.M. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: PT Gramedia