A.
Pemahaman Terhadap Kesimbangan Nilai pada
Pancasila
Secara ontologi Pancasila adalah bukan
sekedar ideologi tanpa makna. Tapi merupakan kendaraan atau wahana untuk
mencapai suatu kedaulatan tertinggi berdasarkan moralitas harkat dan martabat
manusia sebagai mahluk Tuhan. Pancasila merupakan filsafat dan pandangan hidup
Bangsa Indonesia yang digali dari bumi pertiwi, dan telah diyakini bahwa
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berlaku dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat. Pancasila sebagai landasan moral bangsa
mengisyaratkan bahwa dalam mencapai cita-cita nasional harus menjadi pegangan
agar tidak menyimpang dalam mencapai tujuan bangsa dalam mensejahterakan
rakyat. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya menjadi pedoman
atau dasar bagi bangsa dalam memandang manusia,masyarakat ,bangsa dan negara
tentang makna hidup serta sebagai dasar negara.Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum yang nilai-nilainya menjiwai setiap aturan yang berlaku
dalam tatanan kehidupan bangsa. Peranan Pancasila sebagai falsafah pandangan
hidup bangsa pada hakikatnya merupakan cerminan nilai-nilai dasar Pancasila
secara harmonis ,serasi,selaras dan seimbang.
Di dalam Pancasila terdapat kesimbangan
antara hubungan vertikal dan horisontal yang menyebabkan kesamaan nilai yang
terdapat di dalam Pancasila. Hubungan vertikal yang terdapat didalam pancasila
yakni antara manusia dengan sang khalik sebagai penjelmaan nilai-nilai
Ketuhanan YME. Didalam hubungan tersebut manusia memahami tentang nilai bahwa
(1) manusia memanfaatkan alam ciptaan
tuhan karena pada dasarnya manusia mempercayai bahwa segala sesuatu merupakan
ciptaan dari yang kuasa, (2) manusia harus bertaqwa kepada Tuhan YME yakni
manusia diharuskan menjalankan perintah-perintah Tuhan sebagai rasa syukur atas
ciptaan-Nya, (3) manusia mempercayai
akan ada pembalasan atas amal yang dilakukan manusia di dunia dengan
mempercayai adanya surga dan neraka.
Sedangkan hubungan horisontal yang
terdapat di dalam nilai pancasila yakni antara manusia dengan sesamanya, baik
dalam fungsinya sebagai warga masyarakat, warga bangsa, dan warga negara. Dari
sini melahirkan hak dan kewajiban yang harus seimbang. Di dalam nilai yang
terdapat di Pancasila terdapat kesimbangan antara hubungan vertikal dan horisontal
supaya manusia mengetahui hak dan kewajibanya sebagai masyarakat, warga negara
dan makhluk ciptaan tuhan.
B.
Teori
Politik Thomas Hobbes
Hobbes
menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang
melegitimasikan diri semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam.Kemudian
negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum
yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati.
Dengan
demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku
destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum
karena memiliki rasa takut dihukum mati.Hilangnya kebebasan warga negara
terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup
dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.Menurut Hobbes, manusia tidaklah
bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu
keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap
memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah
serigala bagi sesamanya).
Untuk mengantisipasi peyalahgunaan
kekuasaan oleh para penguasa, Hobbes menyatakan dua hal. Yang Pertama, perlu
ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak
perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan
terakhir. Dan yang kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga
negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian
akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada
situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk
selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.
C.
Keterkaitan
Teori Politik Thomas Hobbes Terhadap Teori Pancasila
Teori politik Thomas Hobbes pada
dasarnya berbanding terbalik dengan teori Pancasila. Teori Hobbes terbentuk
pada jaman raja-raja pada masa itu menguasai masyarakatnya . Hal itu
dikarenakan pada pemerintahan di zamannya terkenal dengan negara yang absolut.
Hobbes tidak mau membenarkan kesewenangan para raja, melainkan ia mau
mendasarkan suatu kekuasaan negara yang tidak tergoyahkan. Pada teorinya Thomas
Hobbes menggambarkan bahwa manusia itu egois, untuk mengutamakan kepentinganya
sering kali manusia menerkam manusia lain (homo homini lupus) yang menyebakan
persaingan dalam masyarakat menjadi tidak rasional, sebab hal ini berlawanan
dengan kepentingan asasi itu. Karena itu Thomas hobbes sempat menggambarkan
bahwa untuk menjaga perdamaian yaitu dengan membuat undang- undang agar
tercipta suatu keadilan dengan mengadakan kontrak sosial, semacam perjanjian
damai yang menjadi dasar kehidupan sosial diantara mereka. Akan tetapi,
perjanjian semacam ini rapuh, dan mereka harus
menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada sebuah
lembaga yang disebut negara.
Ajaran sosial Hobbes tentang absolutisme
negara dan peran instrumental agama ini mendukung monarkisme. Hobbes mendukung
bahwa Raja harus memiliki kekuasaan mutlak tas ratyaknya. Baginya, demokrasi
itu lemah, keropos, dan hanya bias dilakuakan di negara-negara kecil. Dalam
negara yang besar pemerintahan haruslah absolute agar tidak terjadi kekacauan
dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang kuat dan memaksakan
kehendak-kehendaknya secara efektif. Dalam karyanya yang berjudul Leviathan,
Hobbes menulis tiga asumsi dasar yang pertama bahwa manusia itu sama, yang
kedua manusia berinteraksi pada kondisi anarki, dan yang ketiga yaitu manusia
dilingkupi oleh kompetisi. Asumsi Hobbes ini sangat mempengaruhi manusia agar
tetap dapat berrtahan dalam state of nature dimana yang kuatlah yang bisa
menang karena tidak ada pemerintah atau kekuatan yang mengatur mereka (anarki).
Hal tersebut berbeda dengan teori Pancasila yang menjunjung nilai keseimbangan
dan kesamaan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Pancasila sebagi suatu ideologi
tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat reformatif, dinamis dan
terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa Pancsila bersifat aktual, dinamis,
antisifasif dan senentiasa mampu menyelesaikan dengan perkembangan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat.
Keterbukaan Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung
didalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya lebih kongkrit, sehingga memiliki
kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang
senentiasa berkambang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan
zaman.
Pancasila yang terdiri atas lima sila
pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu
kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan
tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.Sehingga
Sila-sila Pancasila yang pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis.
Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan
bahkan saling mengkualifikasi karena Pemikiran dasar yang terkandung dalam
Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan,
dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Dalam memaknai Pancasila kita dapat mengetahui bahwa tidak
ada sesuatu yang dapat mendominasi sesuatu yang lain. Negara bukanlah suatu
alat yang digunakan untuk memaksakan sesuatu kepada masyarakatnya, akan tetapi
negara merupakan suatu wadah dimana masyarakat bisa mengaspirasikan pemikiranya
atau biasa disebut sistem demokrasi. Jadi dapat dikatakan bahwa nilai-nilai
yang ada dalam teori Pancasila meyanggah teori politik yang dikemukakan oleh
Thomas Hobbes. Pada dasaranya suatu terori yang
bersifat probabilite, suatu teori pasti akan mengalami
generelasi-generelasi yang baru. Dalam hal ini tidak ada ayng salah pada kedua
teori tersebut, akan teteapi tergantung cara pandang dan epistimologo
masing-masing tersebut.