ANALISIS PERBANDINGAN MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA
MASA HINDIA BELANDA DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN
Sebelum kita membahas tentang strutur masyarakat
majemuk, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang apa itu masyarakat. Kita
tentu sudah sering mendengar kata masyarakat, baik dari orang lain maupun
mendengar lewat media elektronik. Bahkan mungkin kita sendiri sering
menggunakan kata masyarakat itu sendiri.
Kita tentunya harus
mengetahui dan memahami terlebih dahulu apa itu masyarakat sebelum kita menggunakan istilah masyarakat tersebut.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang tinggal dalam suatu wilayah dalam
waktu yang lama, mempunyai norma/aturan dan mempunyai tujuan yang sama dan
menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat majemuk
terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem
nasional yang biasa dilakukan secara paksa (coercy by force) menjadi sebuah
bangsa dalam wadah nasional. Setelah PD II contoh masyarakat majemuk antara
lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan dan Suriname. Ciri yang mencolok dan
kritikal majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintahan nasional
dengan masyarakat suku bangsa dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa
yang dipersatukan oleh sistem nasional. Pengertian masyarakat majemuk
masyarakat multikultural serta ke mana Indonesia termasuk merupakan suatu topik
yang menarik untuk disampaikan.
Bhinneka Tunggal
Ika, demikian slogan yang dicengkeram oleh Garuda, burung lambang negara
kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, atas dasar tersebut, asumsi yang kini
terus bertahan adalah Indonesia selalu dianggap majemuk bukan multikultur. Asumsi
ini harus mulai dipertanyakan karena pola masyarakat majemuk sarat bias
kolonial Belanda. Sejumlah ahli kemasyarakatan Indonesia, semisal Parsudi
Suparlan, berupaya mendekonstruksi asumsi majemuk masyarakat Indonesia menjadi
multikultural. Asumsi majemuk dianggap tidak sehat dalam menciptakan harmoni
dan integrasi Indonesia yang ditengarai berbagai kerusuhan berbias etnis maupun
agama. Pada kesempatan ini perlu dinyatakan kaum intelektual Indonesia pun
dianggap bertanggung jawab karena turut mempertahankan konsepsi masyarakat
majemuk Indonesia ke dalam wacana publik. Faktor penyebab kemajemukan
masyarakat Indonesia antara lain sebagai berikut :
1. Letak suatu negara / masyarakat
Kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudera
Indonesia dan Samudera Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas
agama di dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, karena letaknya berada di
tengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut, maka masyarakat Indonesia telah
sejak lama memperoleh pengaruh-pengaruh kebudayaan asing melalui para pedagang
asing.
2. Keadaan geografis suatu negara
Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia kurang
lebih 3.000 pulau merupakan faktor yang sangat berpengaruh besar terhadap
terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia. Keadaan geografis telah
memaksa nenek moyang bangsa Indonesia untuk tinggal menetap di daerah yang
terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis ini mengakibatkan penduduk
yang menempati setiap pulau atau sebagian pulau di Nusantara tumbuh menjadi
kesatuan suku–bangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan suku-bangsa
yang lain.
Setiap kesatuan suku-bangsa terdiri dari sejumlah orang
yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka
masing-masing sebagai suatu jenis tersendiri. Mereka pada umunya memiliki
bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Mereka biasanya mengembangkan
kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu
kepercayaan yang sering didukung oleh mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat
tersebut. Hildred Greetz, menyebutkan bahwa jumlah suku-bangsa di Indonesia
adalah berjumlah lebih dari 300 ribu suku-bangsa yang masing-masing memiliki
bahasa dan identitas cultural yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Skinner,
jumlah suku-bangsa Indonesia adalah lebih dar 35 suku-bangsa yang masing-masing
dengan bahasa dan adat yang tidak sama.
3. Iklim yang berbeda dan keadaan struktur tanah yang
berbeda di setiap daerah
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan
ekologis yang berbeda di Indonesia, yaitu : daerah pertainan sawah (wet rice
cultivation) yang terutama banyak kita jumpai di pulau Jawa dan Bali, serta
daerah pertanian ladang (shifting culivation) yang banyak kita jumpai di luar
pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan yang kontras
antara Jawa dan Luar Jawa dalam bidang kependudukan, ekonomi, dan
sosial-budaya.
Di Indonesia
sendiri struktur masyarakatnya ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Nasikun
(1995) menjelaskan bahwa secara horizontal, struktur masyarakat Indonesia
ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan suku, bangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan
kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam. Furnivall dalam Nasikun (1995) mengartikan pluralitas masyarakat
Indonesia pada masa kolonial dengan membagi struktur masyarakat Indonesia
menjadi tiga, yaitu: golongan Eropa, Tionghoa, dan Pribumi. Namun kemudian
pluralitas sesudah masa revolusi kemerdekaan harus dimengerti pada konteks
perbedaan-perbedaaan internal di antara golongan pribumi itu sendiri (Nasikun,
1995).
Konflik yang timbul
dalam struktur masyarakat Indonesia berbeda pada saat masa penjajahan dengan
setelah kemerdekaan. Konflik yang terjadi karena pluralitas pada saat
penjajahan lebihke arah konflik yang bersifat eksklusif yaitu masalah timbulnya
pertentangan didalam pembagian status, kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang
terbatas pada masyarakat (Nasikun 1995, 72). Perbedaan ras timbul ketika
gologan Eropa muncul sebagi kelas atas, Tionghoa sebagai kelas menengah dan
pribumi sebagai kelas bawah. Indonesia pada masa Hindia Belanda terintegrasi
semata-mata oleh kekuasaan colonial dan oleh paksaan dari suatu kekuatan
ekonomi tertentu (Nasikun 1995, 85).
Sedangkan konflik yang terjadi pada saat setelah kemerdekaan merupakan
konflik antar golongan-golongan yang bersifat silang-menyilang (Nasikun 1995,
85).Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah dan pelapisan social saling
silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaaan golongan yang
bersifat silang menyilang pula (Nasikun 1995, 86). Maksudnya dari berbagai ras
dan pelapisan social bias menjadi satu golongan yang sama.
Hindia Belanda adalah masa
dimana masyarakat Indonesia pada saat itu mengalami kesengsaraan akibat
penjajahan Bangsa-bangsa Barat. Sebenarnya bukan hanya kesengsaraan yang
didapat masyarakat kita saat itu, banyak pula hal positif yang dapat dirasakan
hingga saat ini. Sistem social pada masa ini lebih dikenal dengan masyarakat
majemukl, yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu
kesatuan politik. Belum terciptanya suatu persatuan dan kesepakatan bersama
pada masa ini. Masyarakat Hindia Belanda masih sangat kental dengan feodalisme.
Hingga terlahirnya masa Pergerakan Nasional yang dimulai sejak berdirinya Boedi
Oetomo pada 20 Mei 1908. Dan diperkuat lagi dengan lahirnya Sumpah Pemuda yang
dicetuskan pada 28 Oktober 1928. Walaupun bangsa ini sudah memiliki satu tujuan
nasional untuk meraih kemerdekaan, namun kemajemukkannya masih tetap ada.
Masyarakat
Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan
suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study
of Plural Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469). Hubungan
antara pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat
jajahan selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia
Belanda dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk
kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang
disukung oleh para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan
dan penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk
kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau
primitif.
Dalam masyarakat
majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik
yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan
mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas.
Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai
kekutan iliter dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan
kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalalm
penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada
pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh
orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang terbawah adalah
mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi
yang tergolong telah menganl peradaban dan meraka yang belum mengenal peradaban
atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat
struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai
konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Perbedaan-perbedaan
suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering disebut
sebagai cirri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang
mula-mula sekali diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat
Indonesia pada masa Hindia-Belanda. J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana
bangsa Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia, memberikan suatu gambaran
tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah
suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan
sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para
anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai
keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki
dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah
bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub
kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
John Sydenham
Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke dalam
kategori masyarakat majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu
masyarakat di mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap
masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau
bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Menurut
J.S. Furnivall, Masyarakat Majemuk merupakan masyarakat yang terdiri atas dua
atau lebih komunitas maupun kelompok-kelompok yang secara budaya dan ekonomi
trpisah secara memiliki strukutyr kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya.
Nasikun, menyatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan suatu masyrakat yang
menganut system nilai yang berbeda di antara berbagai kesatuan sosial yang
menjadi anggotanya. Para anggota masyarakat tersebut kurang memiliki loyalitas
terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas
kebudayaan, atau bahakan kurang memiliki dasar untuk mengembangkan sikap
salaing memahami.
Apa yang ditelisik oleh Furnivall dalam
bukunya Hindia Belanda merentang
waktu mulai dari 1600-1800 saat masa-masa supremasi Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC), hingga masa-masa depresi dan krisis pada tahun
1929-1930-an. Dengan cara pandang yang sudah disebutkan diatas, kita dapat
melihat bagaimana setiap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
kolonial. Dari rentang yang begitu panjang itu, setidaknya kita dapat
mengelompokkan proses pembentukan wilayah kekuasaan dan pemerintahan imperium
Hindia Belanda menjadi tiga tahap; tahap pertama
pada masa VOC (1602-1798), saat Negeri Belanda dikuasai oleh
klangan Aristokrat di bawah kekuasaan Republik Federal, dan pada tahun 1609 ada
penunjukkan Gubernur Jenderal untuk wilayah koloni, dan pada tahun 1619
dibangunlah kantor dagang pertama di Batavia oleh J.P Coen. Tahap kedua ialah masa peralihan
(1795-1800), saat Negeri Belanda dikuasai oleh Tentara Revolusioner Perancis,
hal ini membuat berubahnya konsep ‘koloni’ itu sendiri. Pada tahap ini situasi
Hindia Belanda dipengaruhi oleh
dinamikan yang terjadi di Eropa antara Perancis, Inggris dan Spanyol. Tahap ketiga pada masa pengukuhan
wilayah kolonialisme Hindia-Belanda. Artinya, bubarnya VOC sebagai perusahaan
kamar dagang, diganti oleh parlemen Belanda yang mengontrol langsung wilayah
koloni tersebut.
Pluralitas
masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan tentang
bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara
stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan
memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat vertikal. Suatu sistem
sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal yaitu: pertama,
masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara
sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang
bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota
dari berbagai kesatuan sosial (Nasikun, 1987). Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan
sosial yang terikat kedalam ikatan primordial dengan sub kebudayaan
yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik. Konflik tersebut
dibagi Nasikun dalam dua tingkatan, yaitu konflik ideologis dan konflik
politius.
Terkait dengan ikatan primordial, Wasino (2013)
menyatakan konsep multikulturalisme menjadi isu penting yang akan tersebar di
Indonesia. Hal ini penting karena setelah runtuhnya rezim otoritarianisme, atau
yang barumenuju masyarakat demokratis harus didukung oleh masyarakat demokratis
pula yang menghormati konsep budaya yang berbeda. Idenya sebenarnya merupakan
revitalisasi dari pemikiran pendiri Indonesia menuju mengintegrasikan Indonesia
orang tanpa memandang warna kulit, etnis, agama, dan kelas sosial.
Konsep pluralitas/kemajemukan yang dibuat oleh Furnivall
sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda, di mana terdapat tiga golongan yang saling berbeda, yaitu
orang-orang kulit putih, keturunan Tionghoa, dan pribumi. Sejak Indonesia
mencapai kemerdeakaannya pada 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang sebelumnya
menempati kedudukan penting, terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat
Indonesia. Maka sejak saat itu,
pluralitas yang ada adalah pluralitas internal yang terdapat di antara
golongan-golongan pribumi, dan memperoleh artinya yang lebih penting daripada
apa yang dikemukakan oleh Furnivall.
Konsepsi Furnivall tidak mutlak relevan dengan kondisi
masyarakat plural pasca kemerdekaan
Indonesia, apalagi dengan kondisi masyarakat di Indonesia saat ini. Hal ini
dapat dilihat dari perwujudan konkret, seperti ada tidaknya ras minoritas yang
menguasai ras mayoritas. Namun, menurut Nasikun , konsepsi Furnivall masih
memiliki kontinuitas sampai sekarang. Dengan mengabaikan realisasi nyata, kita
bisa mendapatkan esensi konsepsi yang terlepas dari ruang dan waktu. Saat ini
multikulturalisme harus menyebar ke publik yang lebih luas. Penyebaran konsep
multikultural ini dapat dicapai jika orang-orang Indonesia menghormati
perbedaan budaya yang ada serta tidak menimbulkan konflik social dan konflik
politik (Wasino, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Furnivall, J. S. 2009. Hindia Belanda: Studi
tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.
Nasikun. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nasikun. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wasino, W. (2013). INDONESIA: FROM PLURALISM TO MULTICULTURALISM. Paramita: Historical Studies Journal, 23(2).