Senin, 04 Mei 2015

PERBANDINGAN MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA MASA HINDIA BELANDA DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN

ANALISIS PERBANDINGAN MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA MASA HINDIA BELANDA DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN

Sebelum kita membahas tentang strutur masyarakat majemuk, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang apa itu masyarakat. Kita tentu sudah sering mendengar kata masyarakat, baik dari orang lain maupun mendengar lewat media elektronik. Bahkan mungkin kita sendiri sering menggunakan kata masyarakat itu sendiri.  Kita tentunya harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu apa itu masyarakat sebelum  kita menggunakan istilah masyarakat tersebut. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang tinggal dalam suatu wilayah dalam waktu yang lama, mempunyai norma/aturan dan mempunyai tujuan yang sama dan menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional yang biasa dilakukan secara paksa (coercy by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah nasional. Setelah PD II contoh masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan dan Suriname. Ciri yang mencolok dan kritikal majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintahan nasional dengan masyarakat suku bangsa dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Pengertian masyarakat majemuk masyarakat multikultural serta ke mana Indonesia termasuk merupakan suatu topik yang menarik untuk disampaikan.
Bhinneka Tunggal Ika, demikian slogan yang dicengkeram oleh Garuda, burung lambang negara kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, atas dasar tersebut, asumsi yang kini terus bertahan adalah Indonesia selalu dianggap majemuk bukan multikultur. Asumsi ini harus mulai dipertanyakan karena pola masyarakat majemuk sarat bias kolonial Belanda. Sejumlah ahli kemasyarakatan Indonesia, semisal Parsudi Suparlan, berupaya mendekonstruksi asumsi majemuk masyarakat Indonesia menjadi multikultural. Asumsi majemuk dianggap tidak sehat dalam menciptakan harmoni dan integrasi Indonesia yang ditengarai berbagai kerusuhan berbias etnis maupun agama. Pada kesempatan ini perlu dinyatakan kaum intelektual Indonesia pun dianggap bertanggung jawab karena turut mempertahankan konsepsi masyarakat majemuk Indonesia ke dalam wacana publik. Faktor penyebab kemajemukan masyarakat Indonesia antara lain sebagai berikut :
1.      Letak suatu negara / masyarakat
Kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, karena letaknya berada di tengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut, maka masyarakat Indonesia telah sejak lama memperoleh pengaruh-pengaruh kebudayaan asing melalui para pedagang asing.
2.      Keadaan geografis suatu negara
Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia kurang lebih 3.000 pulau merupakan faktor yang sangat berpengaruh besar terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia. Keadaan geografis telah memaksa nenek moyang bangsa Indonesia untuk tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis ini mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau atau sebagian pulau di Nusantara tumbuh menjadi kesatuan suku–bangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan suku-bangsa yang lain.
Setiap kesatuan suku-bangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka masing-masing sebagai suatu jenis tersendiri. Mereka pada umunya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang sering didukung oleh mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat tersebut. Hildred Greetz, menyebutkan bahwa jumlah suku-bangsa di Indonesia adalah berjumlah lebih dari 300 ribu suku-bangsa yang masing-masing memiliki bahasa dan identitas cultural yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Skinner, jumlah suku-bangsa Indonesia adalah lebih dar 35 suku-bangsa yang masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama.
3.      Iklim yang berbeda dan keadaan struktur tanah yang berbeda di setiap daerah
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan  kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yaitu : daerah pertainan sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak kita jumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting culivation) yang banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan yang kontras antara Jawa dan Luar Jawa dalam bidang kependudukan, ekonomi, dan sosial-budaya.
Di Indonesia sendiri struktur masyarakatnya ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Nasikun (1995) menjelaskan bahwa secara horizontal, struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku, bangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Furnivall dalam Nasikun (1995) mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia pada masa kolonial dengan membagi struktur masyarakat Indonesia menjadi tiga, yaitu: golongan Eropa, Tionghoa, dan Pribumi. Namun kemudian pluralitas sesudah masa revolusi kemerdekaan harus dimengerti pada konteks perbedaan-perbedaaan internal di antara golongan pribumi itu sendiri (Nasikun, 1995).
Konflik yang timbul dalam struktur masyarakat Indonesia berbeda pada saat masa penjajahan dengan setelah kemerdekaan. Konflik yang terjadi karena pluralitas pada saat penjajahan lebihke arah konflik yang bersifat eksklusif yaitu masalah timbulnya pertentangan didalam pembagian status, kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas pada masyarakat (Nasikun 1995, 72). Perbedaan ras timbul ketika gologan Eropa muncul sebagi kelas atas, Tionghoa sebagai kelas menengah dan pribumi sebagai kelas bawah. Indonesia pada masa Hindia Belanda terintegrasi semata-mata oleh kekuasaan colonial dan oleh paksaan dari suatu kekuatan ekonomi tertentu (Nasikun 1995, 85).  Sedangkan konflik yang terjadi pada saat setelah kemerdekaan merupakan konflik antar golongan-golongan yang bersifat silang-menyilang (Nasikun 1995, 85).Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah dan pelapisan social saling silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaaan golongan yang bersifat silang menyilang pula (Nasikun 1995, 86). Maksudnya dari berbagai ras dan pelapisan social bias menjadi satu golongan yang sama.
Hindia Belanda adalah masa dimana masyarakat Indonesia pada saat itu mengalami kesengsaraan akibat penjajahan Bangsa-bangsa Barat. Sebenarnya bukan hanya kesengsaraan yang didapat masyarakat kita saat itu, banyak pula hal positif yang dapat dirasakan hingga saat ini. Sistem social pada masa ini lebih dikenal dengan masyarakat majemukl, yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Belum terciptanya suatu persatuan dan kesepakatan bersama pada masa ini. Masyarakat Hindia Belanda masih sangat kental dengan feodalisme. Hingga terlahirnya masa Pergerakan Nasional yang dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Dan diperkuat lagi dengan lahirnya Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928. Walaupun bangsa ini sudah memiliki satu tujuan nasional untuk meraih kemerdekaan, namun kemajemukkannya masih tetap ada.
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469). Hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia Belanda dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang disukung oleh para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau primitif.
Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai kekutan iliter dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalalm penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah menganl peradaban dan meraka yang belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering disebut sebagai cirri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula sekali diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana bangsa Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia, memberikan suatu gambaran tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Menurut J.S. Furnivall, Masyarakat Majemuk merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas maupun kelompok-kelompok yang secara budaya dan ekonomi trpisah secara memiliki strukutyr kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya. Nasikun, menyatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan suatu masyrakat yang menganut system nilai yang berbeda di antara berbagai kesatuan sosial yang menjadi anggotanya. Para anggota masyarakat tersebut kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahakan kurang memiliki dasar untuk mengembangkan sikap salaing memahami.
Apa yang ditelisik oleh Furnivall dalam bukunya Hindia Belanda merentang waktu mulai dari 1600-1800 saat masa-masa supremasi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), hingga masa-masa depresi dan krisis pada tahun 1929-1930-an. Dengan cara pandang yang sudah disebutkan diatas, kita dapat melihat bagaimana setiap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat kolonial. Dari rentang yang begitu panjang itu, setidaknya kita dapat mengelompokkan proses pembentukan wilayah kekuasaan dan pemerintahan imperium Hindia Belanda menjadi tiga tahap; tahap pertama  pada masa VOC (1602-1798), saat Negeri Belanda dikuasai oleh klangan Aristokrat di bawah kekuasaan Republik Federal, dan pada tahun 1609 ada penunjukkan Gubernur Jenderal untuk wilayah koloni, dan pada tahun 1619 dibangunlah kantor dagang pertama di Batavia oleh J.P Coen. Tahap kedua ialah masa peralihan (1795-1800), saat Negeri Belanda dikuasai oleh Tentara Revolusioner Perancis, hal ini membuat berubahnya konsep ‘koloni’ itu sendiri. Pada tahap ini situasi Hindia  Belanda dipengaruhi oleh dinamikan yang terjadi di Eropa antara Perancis, Inggris dan Spanyol. Tahap ketiga pada masa pengukuhan wilayah kolonialisme Hindia-Belanda. Artinya, bubarnya VOC sebagai perusahaan kamar dagang, diganti oleh parlemen Belanda yang mengontrol langsung wilayah koloni tersebut.
Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat vertikal. Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal yaitu: pertama, masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (Nasikun, 1987). Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik. Konflik tersebut dibagi Nasikun dalam dua tingkatan, yaitu konflik ideologis dan konflik politius.
Terkait dengan ikatan primordial, Wasino (2013) menyatakan konsep multikulturalisme menjadi isu penting yang akan tersebar di Indonesia. Hal ini penting karena setelah runtuhnya rezim otoritarianisme, atau yang barumenuju masyarakat demokratis harus didukung oleh masyarakat demokratis pula yang menghormati konsep budaya yang berbeda. Idenya sebenarnya merupakan revitalisasi dari pemikiran pendiri Indonesia menuju mengintegrasikan Indonesia orang tanpa memandang warna kulit, etnis, agama, dan kelas sosial.
Konsep pluralitas/kemajemukan yang dibuat oleh Furnivall sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, di mana terdapat tiga golongan yang saling berbeda, yaitu orang-orang kulit putih, keturunan Tionghoa, dan pribumi. Sejak Indonesia mencapai kemerdeakaannya pada 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang sebelumnya menempati kedudukan penting, terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia.  Maka sejak saat itu, pluralitas yang ada adalah pluralitas internal yang terdapat di antara golongan-golongan pribumi, dan memperoleh artinya yang lebih penting daripada apa yang dikemukakan oleh Furnivall.
Konsepsi Furnivall tidak mutlak relevan dengan kondisi masyarakat plural  pasca kemerdekaan Indonesia, apalagi dengan kondisi masyarakat di Indonesia saat ini. Hal ini dapat dilihat dari perwujudan konkret, seperti ada tidaknya ras minoritas yang menguasai ras mayoritas. Namun, menurut Nasikun , konsepsi Furnivall masih memiliki kontinuitas sampai sekarang. Dengan mengabaikan realisasi nyata, kita bisa mendapatkan esensi konsepsi yang terlepas dari ruang dan waktu. Saat ini multikulturalisme harus menyebar ke publik yang lebih luas. Penyebaran konsep multikultural ini dapat dicapai jika orang-orang Indonesia menghormati perbedaan budaya yang ada serta tidak menimbulkan konflik social dan konflik politik (Wasino, 2013).







DAFTAR PUSTAKA

Furnivall, J. S. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.

Nasikun. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


Wasino, W. (2013). INDONESIA: FROM PLURALISM TO MULTICULTURALISM. Paramita: Historical Studies Journal23(2).