Minggu, 10 Mei 2015

RESUME BUKU NASIONALISME DAN KETAHANAN BUDAYA DI INDONESIA SEBUAH TANTANGAN

Bangsa Indonesia telah memasuki sistem demokrasi dan dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelag India dan Amerika Serikat. Sistem demokrasi yang diterapkan seharusnya dapat mensejahterahkan rakyat seperti amanat yang tercantum dalam UUD 1945, namun hingga kini masih jauh dari kenyataan. Kemiskinan yang merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam menyejahterahkan rakyat merupakan masalah yang sangat mendasar dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Kemiskinan ini merupakan salah satu faktor melemahnya nasionalisme.
          Melemahnya nasionalisme di masyarakat akibat kemiskinan dan rasa malu berdampak serius pada ranah demografi dan status kewarganegaraan. Dalam era reformasi dan sistem politik yang demokratis dan sangat terbuka, terlihat kehidupan masyarakat tidak lebih baik dari masa sebelumnya. Kondisi ini melahirkan dua golongan di masyarakat. Ada sekelompok orang yang mulai mempertanyakan manfaat bergabung dengan negara-bangsa Indonesia, dan ada pula sekelompok orang yang masih mempertahankan Indonesia dalam wadah NKRI. Kita bukan saja tidak ingin Indonesia bubar, melainkan juga menginginkan Indonesia aman dan kuat.
Nasionalisme Indonesia yang berkaitan dengan ikatan budaya dan ketahanan budaya, yaitu bahwa nasionalisme Indonesia tidak bisa lepas dari masyarakatnya yang multikutural. Peran ikatan budaya bukan hanya menjadi pemersatu masyarakat, melainkan juga mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi globalisasi. Saat ini, dapat dirasakan melemahnya nasionalisme dari masyarakat Indonesia. Seda mengungkapkan ada dua tantangan dalam mempertahankan nasionalisme yaitu otonomi daerah dan globalisme. Katanya pula, persoalan nasionalisme terjadi karena nasionalisme senantiasa dikaitkan dengan negara-bangsa dimana peran negara masih sangat dominan, dan nasionalisme tidak dihubungkan dengan pasar maupun komunitas. Sedangkan Mukhlis PaEni, hukum yang seharusnya menjadi panglima tidak lagi berfungsi sehingga kekerasan ideologi maupun kekerasan fisik menemukan ruang geraknya yang luas. Dua contoh yang paling relevan adalah aksi radikalisme keagamaan yang merusak konsensus bersama (Pancasila), dan menguatnya sentimen etnisitas dan kedaerahan yang mengarah kepada kekuasaan komunitas atau otoritas lokal. Strategi kebudayaan yang tepat melalui pendidikan agar terciptanya sebuah tatanan budaya baru yang dapat mewujudkan demokrasi dan fungsi hukum yang efektif.
Muncul pertanyaan nasionalisme Indonesia sudah selesaikah? Nasionalisme mencakup banyak aspek yang bila ditelisik cukup kompleks. Nasionalisme merefleksikan sejarah masa lalu. Aspek historis yang dikandungnya menyebabkan nasionalisme setiap bangsa tidak pernah sama. Ada banyak tipe nasionalisme. Syamsudin haris membaginya menjadi civic nationalism dan collective nationalism. Sementara Azyumardi Azra lebih berbicara tentang nasionalisme politik, nasionalisme ekonomi, nasionalisme agama, dan nasionalisme kultural. Selanjutnya, Haris juga membedakan nasionalisme Indonesia ke dalam nasionalisme politik yang dikatanaknnya sudah selesai dan nasionalisme kultural yang dipandangnya belum selesai. Di sisi lain, Azra melihat bahwa nasionalisme politik dan agama sudah selesai, sementara nasionalisme ekonomi dan nasionalisme budaya sama sekali belum selesai. Aspek lain nasionalisme adalah aspek hubungan antara beberapa entitas pendukungnya, yaitu negara, bangsa, dan masyarakat yang membentuk negara-bangsa ini. Secara implisit Soewarsono dan PaEni berbicara tentang perlunya dialog lokal nasional.
Berbicara tentang melemahnya nasionalisme Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari persoalan konseptual dari nasionalisme itu sendiri. Negara merupakan jangkar utama dari kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan sebuah negara-bangsa tidak bisa dilepaskan dari peran masyarakat di dalamnya. Selama nasionalisme dalam perspektif daerah tidak diberikan kebebasan, maka selama itu pula etnonasionalisme akan terus bertumbuh dan berkembang subur menjadi kerikil tajam penghancur nasionalisme. Nasionalisme Indonesia di masa depan hanya mampu bertahan jika seluruh warga dan para penyelenggara bisa mengelola dengan baik perbedaan dan keanekaragaman etnik, budayam dan bahasa daerah.
Bila nasionalisme dan ketahanan budaya dilihat dari segi demografis, akan selalu membahas mengenai migrasi atau mobilitas penduduk yang secara geografis adalah sebuah kenyataan sosial yang telah ada sejak hadirnya manusia di muka bumi. Mobilitas penduduk itu sudah terjadi sebelum lahirnya sistem negara-bangsa. Gejala migrasi, dikemukakan James Fox, membawa implikasi terhadap berubahnya cara pandang dan metodologi dalam melihat tingkah laku manusia. Migrasi ini akan mengancam nasionalisme bila sudah lintas pulau dan bahkan lintas negara. Contoh saja migrasi besar-besaran orang Madura ke Sampit yang berpenghunikan suku Dayak. Orang Madura selama bertahun-tahun menguasai tanah kelahiran Dayak tersebut, hingga akhirnya muncullah peristiwa perang Sampit di tahun 2001. Belum lagi migrasi lintas negara yang kerap sekali tejadi di daerah perbatasan. Mengalirnya penduduk dari desa-desa di Entikong je desa-desa yang lebih makmur di Serawak jelas menunjukkan tipisnya rasa nasionalisme yang dimiliki oleh penduduk yang pindah, juga sekaligus mencerminkan lemahnya ketahanan budaya dari masyarakat di perbatasan.
Dalam konteks wilayah perbatasan, kiranya tidak ada cara lain yang lebih efektif bagi pemerintah Indonesia selain menciptakan kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi penduduk yang tinggal di daerah perbatasan. Tanpa disertai upaya negara untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk perbatasan, pendekatan dari pihak militer yang bersifat militeristik diduga justru akan menciptakan rasa tidak aman dan merasa dicurigai sebagai antek negara asing, dan nantinya akan mendorong lebih keras keinginan untuk menyeberang ke negara tetangga.
Nasionalisme Indonesia dan keberagaman budaya dalam perspektif politik, sebagai titik awal, ke-Indonesiaan diwujudkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Ke-Indonesiaan atau kebangsaan yang tidak diisi ulang atau tidak diaktualisasi dalam kebijakan-kebijakan publik, tentu akan berujung pada ke-Indonesiaan yang stagnasi, baik di tingkat internal maupun dalam interaksinya dengan dunia global. Sejarah panjang pencarian identitas nasional lahir dari perdebatan intelektual yang hampir tidak pernah berhenti hingga kini. Perdebatan intelektual sebagai bagian dari pencarian identitas nasional pernah berlangsung antara Soekarno dan Agus Salim pada 1920-an, serta antara Soekarno dan Mohammad Natsir pada 1940-an. Bagi Soekarno, negara dan agama haruslah terpisah satu sama lain agar tidak saling melemahkan. Soekarno berpandangan dengan menyatunya negara dan agama akan melahirkan diktator tanpa demokrasi. Sementara itu Agus Salim dan Natsir berpandangan bahwa persatuan agama dan negara justru diperlukan agar penyelenggaraan negara sesuai dengan kaidah dan kebenaran agama.
Secara teoritis pencarian identitas nasional yang dialami bangsa Indonesia sejak awal abad ke-20 tersebut dapat dipandang sebagai upaya mentransformasukan bentuk nasionalisme dan nasionalisme kultural ke dalam nasionalisme politik yang dianggap sebagai ciri nasionalisme modern sebagaimana berkembang di Barat. Nasionalisme politik di Barat bersifat progresif, modern, berorientasi di masa kini dan masa depan, serta mengutamakan kebebasan individu. Sedangkan nasionalisme kultural yang ada di Timur merupakan reaksi dan perlawanan terhadap nilai-nilai liberal.
Basis nasionalisme yang mendasari format Indonesia bukanlah etnik, ideologi, maupun agama tertentu, melainkan ide persatuan di antara kelompok dan golongan yang berbeda-beda. Eksperimen tentang sistem politik dan format ekonomi yang tepat bagi Indonesia, terus berlangsung di bawah sistem Demokrasi Parlementer (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1967-1998), hingga reformasi saat ini.
Pengembangan eksperimentasi pada masa Orde Baru tercantum pada agenda utama Soeharto, yaitu menciptakan integrasi nasional yang kokoh. Dalam praktir semua upaya untuk menciptakan integrasi nasional cenderung dilakukan dalam rangka memperkokoh integrasi kekuasaan elite penguasa yang memperkokoh semua unsur pemerintahan Orde Baru. Potensi konflik dan disintegrasi berakar pada kecenderungan elite politik untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Potensi disintegrasi itu muncul ketika elite politik memanipulasi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai kepentingan nasional untuk melindungi dan mempertahankan vested interest.
Tak seorangpun bisa membantah bahwa ide persatuanlah yang dapat menyatukan seluruh Nusantara bekas wilayah Hindia Belanda dalam Indonesia. Ide persatuan itu acapkali diinterpretasikan secara dangkal oleh pemerintah yang berkuasa pasca revolusi. Ketika Soekarno berkuasa penuh atas dukungan militer dan sokongan PKI di bawah sistem Demokrasi Terpimpin, obsesi persatuan dikampanyekan dalam format ideologi Nasakom. Nasakom akhirnya menjadi perangkap bagi Soekarno. Lalu di bawah sistem otoriter Soeharto, bukan hanya melanjutkan upaya menyatukam dan menyeragamkan ideologi parta-partai dalam asas tunggal Pancasila, melainkan juga mendistorsikan ide persatuan sebagai kesatuan teritorial ke dalam frasa NKRI. Gagasan persatuan nasional yang semula lahir dari komitmen keberagaman yang bersifat lintas etnik, lintas agama, lintas ideologi, dan lintas daerah, pada akhirnya dipraktikan sebagai teritorial tanpa hak berbagai unsur bangsa untuk mempersoalkan bagaimana cara negara mempertahankan keutuhan segenap wilayah Nusantara yang amat beragam.
Menjelang kelengseran Soeharto memang tidak ada yang mengelola keberagaman menjadi sebuah fondasi yang kuat. Fenomena sosial politik lebih dari satu dekade reformasi pasca Soeharto jelas mengindikasikan hal itu. Probematikanya negara bukan hanya tidak memiliki instrumen institusi dan kebijakan yang adil dalam menyelesiakan konflik sosial yang berbasis etnik, agama, dan identitas lainnya, tetapi juga acapkali bersikap tidak netral dalam mengatasinya.
Faktor kegagalan negara dalam mengawal dan menyantuni perbedaan dan keberagaman sebagai fondasi bagi nasionalisme Indonesia, yaitu yang pertama karena faktor elite politik negara. Para elite penyelenggara di semua tingkat serta cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Komitmen kepemimpinan, termasuk dalam pengelolaan keberagaman memang dipidatokan secara langsung setiap menjelang pemilu, tetapi setelah pemilu usai mereka menjadi elite politik dan pemerintah yang tidak peduli dengan aneka persoalan bangsa. Selain faktor institusi, ancaman serius bagi keberagaman dan ketahanan budaya datang dari unsur-unsur masyarakat. Transformasi sosial ekonomi mengubah orientasi masyarakat sehingga nilai-nilai solidaritas, toleransi, dan kolektifitas cenderung semakin tergerus. Realitas tersebut menjelaskna masih terus berlanjutnya salah urus negara dan pemerintahan sebagai akibat dari rendahnya komitmen dan kesungguhan para elite penyelenggara negara maupun elite non negara dalam merawat dan mengelola keberagaman sebagai aset sekaligus fondasi nasionalisme Indonesia.
Faktor sejarah dan kebudayaan sangat penting untuk dipahami dalam menjaga nasionalisme dan ketahanan budaya di Indonesia. Misal saja dua kasus yang akan dicontohkan ini. Kasus di Aceh, saat Hasan Di Tiro membentuk NAD yang berbeda dengan cita-cita dari Aceh yang telah sebelumnya dibentuk oleh Daud Beureuh, maka Aceh Tengah dan Selatan tidak mau bergabung di dalamnya dan keduanya lebih memilih untuk menjadi kantung dari NKRI. Kelompok Aceh Tengah dan Selatan tidak mau bergabung ke NAD karena faktor sejarah dan juga faktor kebudayaan. Ada pula kasus dituntutnya Walikota Singkawang, Hasan Karman untuk meminta ampun kepada masyarakat Melayu di Kalimantan Barat dan harus dilakukan di hadapan Sultan Sambas (9th). Ini karena Hasan Karman menulis dalam sebuah makalah bahwa orang-orang Melayu Kalimantan Barat adalah keturunan perompak laut dan Sultan Sambas adalah pelindung perompak tersebut.
Persoalan otonomi daerah di Indonesia memang tak kunjung selesai. Penerapan di masa Hindia Belanda, formatnya pun tidak pernah selesai. Fatalnya, saat ini sepertinya jatuh di lubang yang sama karena kita tidak belajar dari sejarah. Di Aceh memang tidak ada konflik yang mengambil agama sebagai kambing hitam, karena semuanya beragama yang sama. Hal ini bverbeda dengan konflik yang terjadi di Gorontalo maupun Maluku Utara yang kerap terjadi konflik antar umat beragama. Sulawesi Selatan juga mengalami permasalaha, tentang pemekaran kabupaten yang sebenarnya diakibatkan oleh ketidaktahuan akan sejarah, latar belakang, dan genealogi kekuasaan di daerah.
Benturan antar etnik berdampak amat besar bagi kehidupan kebangsaan. Kita memang sudah mewujudkan NKRI melalui komitmen politik dan kita sudah capai melalui Proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi komitmen kebudayaan tidak dibangun mengikuti komitmen politik itu, sementara di lain pihak komitmen politik yang mengikat NKRI akhir-akhir ini kian mengalami kemerosotan.
Mengenai nasionalisme Indonesia, dapat diumpamakan dengan teori yang sangat sederhana, bahwa Indonesia lebih merupakan ‘A Colonial Nationalism’. Artinya, nasionalisme Indonesia baru dapat dibaca dalam konteks kolonialisme. Masyarakat kolonial pada masa itu dibagi tiga, yaitu Eropa, Cina dan Timur Tenang, serta pribumi. Saat ini, ika nasionalisme Indonesia mengacu pada kesatuan, maka studi-studi adat lebih mengacu pada perbedaan-perbedaan. Yang terpenting untuk integrasi nasional adalah pribumi yang terdiri dari kelompok etnik yang suatu saat dapat menjadi ancaman karena siap berdiri menjadi nasion-nasion. Bisa disimpulkan bahwa semua jenis nasionalisme itu dapat dibuat asalakan ada cendekiawannya, diskursusnya, pendukungnya, dan juga medianya.
Menurut Ben Anderson, bangsa Indonesia adalah imagined community. Lalu imagined community yang diusulkan Anderson diubah oleh orang Aceh menjadi bayang-bayang. Kata orang Aceh, “kita jangan menjadi bagian dari bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia hanya imaji (semu)”. Sebenarnya, kita harus bisa membedakan nasuonalisme Indonesia yang sederhana tetapi dibuat secata serius dengan regionalisme yang terkontaminasi dengan kolonialisme. Bhineka Tunggal Ika diartikan sebagai bangsa bersuku. Selebihnya Castles mengatakan bahwa pemahaman tentang konsep etnik dan nasionalisme harus dibuat jelas.
Proses globalisasi dan desentralisasi (otonomi daerah) secara konseptual mendatangkan permasalahan bagi nasionalisme dan negara-bangsa karena globalisasi berorientasi pada pasar, sedangkan desentralisasi berorientasi pada komunitas. Nasionalisme tidak dihubungkan dengan pasar maupun komunitas. Permasalahan konseptual adalah bahwa selama nasionalisme senantiasa dikaitkan dengan negara-bangsa, maka perimbangan kekuatan di dalam hubungan triangular negara-bangsa, pasar, dan kounitas, karena dimaknai sebagai sebuah ancaman bagi keberadaan nasionalisme. Globalisasi dan otonomi daerah adalah sesuatu yang given dan inevitable. Konsep negara-bangsa semakin lama menjadi berkurang relevansinya. Dan selama nasionalisme hanya dikaitkan dengan negara-bangsa maka nasionalisme pun dapat dianggap semakin tidak bermakna. Baik globalisasi maupun otonomi daerah saling tarik-menarik dan negara-bangsa dengan nasionalismenya dipersepsikan semakin tidak lagi relevan pada sekarang ini.
Kasus nasionalisme yang berhubungan dengan globalisasi dan otonomi daerah, dapat dilihat dari petani-petani di Flores Barat yang tidak lagi mengimajinasikan dirinya sebagai bangsa Indonesia, melainkan anggota komunitas lokal Manggarai yang tengah memperjuangkan keberadaannya du tengan gempuran proses globalisai. Seorang pengusaha kain tenun di Flores Barat juga tidak lagi mengimajinasikan dirinya sebagai bangsa Indonesia yang memperjuangkan nasionalisme Indonesia, melainkan melihat peluang dan bagaimana ia dapat memperdagangkan kain tenun Manggarainya di pasar global. Globalisasi dan otonomi daerah akan dirasakan sebagai ancaman selama nasionalisme hanya dikaitkan dengan negara-bangsa. Perubahan di dalam memaknai dan mengimajinasikan diri inilah yang seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ancaman atau tantangan, tetapi sekaligus peluang bagi kita semua di masa depan.

Ketahanan budaya diperlukan oleh masyarakat Indonesia untuk mempertahankan nasionalisme. Yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan tampaknya adala political natinalism dan bukan cultural nationalism maupun economic nationalism. Budaya masyarakat yang terus-menerus dinamis ini merupakan hal yang positif bagi perubahan sosial masyarakat. Secara kritis dapat dipertanyakan lebih lanjut sejauh mana peran negara maupun peran pasar di dalam mempengaruhi perlunya tradisi budaya dilestarikan dan tradisi budaya mana yang terus-menerus dipertahankan. Hal inilah yang menjadi permasalahan baik secara komseptual maupun secara empiris bila mengkaji dan membahas ikatan budaya nasionalisme Indonesia dan ketahanan budaya melalui perspektif sosiologis.