KERAJAAN PERLAK
Nama Perlak diambil dari nama Kayu Perlak. Kayu jenis ini merupakan kayu khas daerah Perlak. Atas dasar ini lah kemudian daerah penghasil kayu Perlak disebut dengan Negeri Perlak. Setelah perdagangan semakin ramai di Selat Malaka, maka pedagang-pedagang pun menyebut Negeri Perlak sebagai Bandar Perlak. Kitab Negarakertagama menyebut negeri itu dengan nama Parlak. Sementara Marcopolo yang berkunjung ke negeri itu pada tahun 1292 mencatatnya dengan nama Negeri Ferlec.
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Perlak telah berdiri sebuah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang sederhana bernama Kerajaan Perlak. Raja yang berkuasa di kerajaan ini bergelar Meurah yang berarti maharaja.
Perlak semakin berkembang ketika dipimpin oleh Pangeran Salman, seorang pangeran yang memiliki darah Kisra Persia. Putri dari Pangeran Slaman kemudian menikah dengan Muhammad Ja’far Shiddiq, seorang pendakwah dari negeri Arab, yang nantinya akan menurunkan pendiri Kesultanan Islam pertama di Nusantara.
Berdasarkan naskah Idhar al-Haq, sekitar tahun 790 M, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak. Kapal tersebut membawa seratus juru dakwah yang dipimpin oleh nakhoda dari kekhalifahan Abbasiyah. Kapal itu datang dari Teluk Kambay, Gujarat dan berlabuh di Bandar Perlak.
Salah seorang juru dakwah tersebut bernama Ali ibn Muhammad Ja’far Shiddiq. Ia adalah seorang muslim Syiah yang melakukan pemberontakan kepada khalifah al-Makmun. Namun, usahanya itu menemui kegagalan, akibatnya ia diperintahkan untuk berdakwah keluar dari negeri Arab sebagai hukumannya.
Setelah beberapa waktu berdakwah di Bbandar Perlak, Ali ibn Muhammad Ja’far Shiddiq menikah dengan putri istana Perlak. Putra pertama hasil dari pernikahan itu bernama Syed Maulana Abdul Azz Syah. Ia berhasil mendirikan Kesultanan Perlak pada tahun 840 M, sebagai Kesultanan Islam (Syiah) pertama di Nusantara. Setelah berhasil mendirikan Kesultanan Perlak, ia memperoleh gelar Sultan Alaiddin Syed Maulanan Abdul Azis Syah.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Syah memerintah sebagai sultan pertama Perlak hingga tahun 864 M. Setelah ia wafat, kesultanan Perlak dipimpin oleh keturunannya yang bernama Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Syah. Ia memerintah selama periode 864-888 M. Selanjutnya Sultan Abdul Rahim Syah digantikan oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Syah, yang berkuasa selama 25 tahun, yakni dari tahun 888 sampai 913 M.
Pascawafatnya sultan ketiga Perlak, tidak ada pelantikan sultan yang baru di Kesultanan Perlak. Hal ini dipicu kondisi yang tidak kondusif di wilayah Kesultanan Perlak. Kondisi tersebut muncul akibat perang saudara di kalangan rakyat Perlak, yakni perang antara pengikut Syiah dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni).
Dua tahun berselang, ketika konflik antara aliran sudah mulai mereda, Syed Maulana Ali Mughayat Syah dilantik sebagai sultan baru Kesultanan Perlak. Ia hanya memerintah dalam waktu yang relatif singkat, pemerintahannya hanya bertahan tiga tahun.
Pada tahun 918, di akhir masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat konflik antara Syiah dan Sunni kembali muncul ke permukaan. Dalam konflik kedua itu kaum Sunni memperoleh kemenangan, sehingga sultan yang akan berkuasa selanjutnya berasal dari kaum Sunni.
Sultan pertama Kesultanan Perlak yang berasal dari golongan Sunni bernama Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat. Ia memerintah pada tahun 928-932 M. Setelah Sultan pertama itu wafat, ia digantikan oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat. Ia memerintah dalam waktu cukup lama, yakni mulai tahun 932 sampai 956 M. Sultan selanjutnya adalah Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, yang memerintah antara tahun 956-983 M.
Pada akhir masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah terjadi konflik ketiga yang melibatkan golongan Syiah dan Sunni. Konflik itu berlangsung selama empat tahun dan diakhiri dengan persetujuan damai yang membagi wilayah kesultanan Perlak menjadi dua, yaitu:
Perlak bagian pesisir, yang dikuasai oleh golongan Syiah. Perlak pesisir dipimpin oleh Sultan Aalaiddin Syed Maulana Syah, yang berkuasa pada tahun 976-988 M.
Perlak bagian pedalaman, yang dikuasai oleh golongan Sunni. Kerajaan Perlak pedalaman dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat, yang memimpin antara tahun 986 hingga 1023 M.
Pada tahun 986 M, Kerajaan Sriwijaya (Kerajaan bercorak Buddha di Nusantara) menyerang Kesultanan Perlak Pesisir. Peperangan hebat pun pecah yang melibatkan pasukan kedua kerajaan tersebut. Dalam perang ini, Sultan Perlak Pesisir, yaitu Sultan Alaiddin Syad Maulana Mahmud Syah gugur dalam peperangan.
Pascagugurnya Sultan Perlak Pesisir, wilayah kesultanan Perlak secara keseluruhan akhirnya dikuasai oleh Sultan Perlak Pedalaman yang beraliran Sunni. Kehadiran pasukan Sriwijaya di wilayah Perlak, segera direspon oleh Sultan Malik Ibrahim Syah dengan mengobarkan semangat rakyat Perlak untuk melawan Sriwijaya.
Pertempuran besar pun terjadi selama bertahun-tahun. Perang antara kedua kerajaan itu baru berakhir pada tahun 1006 M, ketika Sriwijaya memutuskan mundur dari pertempuran untuk bersiap menghadapi serangan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa.
Dengan berakhirnya perang antara Kesultanan Perlak dan Kerajaan Sriwijaya, wilayah Perlak secara keseluruhan dipimpin oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah yang berasal dari golongan Sunni. Pada masa ini kondisi Kesultanan Perlak relatif damai, tanpa adanya peperangan melawan kerajaan luar.
Berikut nama-nama Sultan Perlak dan masa pemerintahannya setelah meninggalnya Sultan Malik Irahim Syah:
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Azis Syah Johan Berdaulta (1267-1292).
Kemunculan Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1267 M, perlahan-perlahan menyaingi pamor dari Kesultanan Perlak. Sultan Malik Abdul Aziz Syah merupakan sultan terakhir Kesultanan Perlak.
Setelah ia wafat, wilayah Kesultanan Perlak digabungkan degan Kerajaan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik al-Zahir, putra dari Merah Silu. Penggabungan yang dilakukan Sultan Samudera Pasai itu, sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan kesultanan pertama di Nusantara.
KERAJAAN SAMUDERA PASAI
Nama Perlak diambil dari nama Kayu Perlak. Kayu jenis ini merupakan kayu khas daerah Perlak. Atas dasar ini lah kemudian daerah penghasil kayu Perlak disebut dengan Negeri Perlak. Setelah perdagangan semakin ramai di Selat Malaka, maka pedagang-pedagang pun menyebut Negeri Perlak sebagai Bandar Perlak. Kitab Negarakertagama menyebut negeri itu dengan nama Parlak. Sementara Marcopolo yang berkunjung ke negeri itu pada tahun 1292 mencatatnya dengan nama Negeri Ferlec.
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Perlak telah berdiri sebuah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang sederhana bernama Kerajaan Perlak. Raja yang berkuasa di kerajaan ini bergelar Meurah yang berarti maharaja.
Perlak semakin berkembang ketika dipimpin oleh Pangeran Salman, seorang pangeran yang memiliki darah Kisra Persia. Putri dari Pangeran Slaman kemudian menikah dengan Muhammad Ja’far Shiddiq, seorang pendakwah dari negeri Arab, yang nantinya akan menurunkan pendiri Kesultanan Islam pertama di Nusantara.
Berdasarkan naskah Idhar al-Haq, sekitar tahun 790 M, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak. Kapal tersebut membawa seratus juru dakwah yang dipimpin oleh nakhoda dari kekhalifahan Abbasiyah. Kapal itu datang dari Teluk Kambay, Gujarat dan berlabuh di Bandar Perlak.
Salah seorang juru dakwah tersebut bernama Ali ibn Muhammad Ja’far Shiddiq. Ia adalah seorang muslim Syiah yang melakukan pemberontakan kepada khalifah al-Makmun. Namun, usahanya itu menemui kegagalan, akibatnya ia diperintahkan untuk berdakwah keluar dari negeri Arab sebagai hukumannya.
Setelah beberapa waktu berdakwah di Bbandar Perlak, Ali ibn Muhammad Ja’far Shiddiq menikah dengan putri istana Perlak. Putra pertama hasil dari pernikahan itu bernama Syed Maulana Abdul Azz Syah. Ia berhasil mendirikan Kesultanan Perlak pada tahun 840 M, sebagai Kesultanan Islam (Syiah) pertama di Nusantara. Setelah berhasil mendirikan Kesultanan Perlak, ia memperoleh gelar Sultan Alaiddin Syed Maulanan Abdul Azis Syah.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Syah memerintah sebagai sultan pertama Perlak hingga tahun 864 M. Setelah ia wafat, kesultanan Perlak dipimpin oleh keturunannya yang bernama Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Syah. Ia memerintah selama periode 864-888 M. Selanjutnya Sultan Abdul Rahim Syah digantikan oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Syah, yang berkuasa selama 25 tahun, yakni dari tahun 888 sampai 913 M.
Pascawafatnya sultan ketiga Perlak, tidak ada pelantikan sultan yang baru di Kesultanan Perlak. Hal ini dipicu kondisi yang tidak kondusif di wilayah Kesultanan Perlak. Kondisi tersebut muncul akibat perang saudara di kalangan rakyat Perlak, yakni perang antara pengikut Syiah dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni).
Dua tahun berselang, ketika konflik antara aliran sudah mulai mereda, Syed Maulana Ali Mughayat Syah dilantik sebagai sultan baru Kesultanan Perlak. Ia hanya memerintah dalam waktu yang relatif singkat, pemerintahannya hanya bertahan tiga tahun.
Pada tahun 918, di akhir masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat konflik antara Syiah dan Sunni kembali muncul ke permukaan. Dalam konflik kedua itu kaum Sunni memperoleh kemenangan, sehingga sultan yang akan berkuasa selanjutnya berasal dari kaum Sunni.
Sultan pertama Kesultanan Perlak yang berasal dari golongan Sunni bernama Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat. Ia memerintah pada tahun 928-932 M. Setelah Sultan pertama itu wafat, ia digantikan oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat. Ia memerintah dalam waktu cukup lama, yakni mulai tahun 932 sampai 956 M. Sultan selanjutnya adalah Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, yang memerintah antara tahun 956-983 M.
Pada akhir masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah terjadi konflik ketiga yang melibatkan golongan Syiah dan Sunni. Konflik itu berlangsung selama empat tahun dan diakhiri dengan persetujuan damai yang membagi wilayah kesultanan Perlak menjadi dua, yaitu:
Perlak bagian pesisir, yang dikuasai oleh golongan Syiah. Perlak pesisir dipimpin oleh Sultan Aalaiddin Syed Maulana Syah, yang berkuasa pada tahun 976-988 M.
Perlak bagian pedalaman, yang dikuasai oleh golongan Sunni. Kerajaan Perlak pedalaman dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat, yang memimpin antara tahun 986 hingga 1023 M.
Pada tahun 986 M, Kerajaan Sriwijaya (Kerajaan bercorak Buddha di Nusantara) menyerang Kesultanan Perlak Pesisir. Peperangan hebat pun pecah yang melibatkan pasukan kedua kerajaan tersebut. Dalam perang ini, Sultan Perlak Pesisir, yaitu Sultan Alaiddin Syad Maulana Mahmud Syah gugur dalam peperangan.
Pascagugurnya Sultan Perlak Pesisir, wilayah kesultanan Perlak secara keseluruhan akhirnya dikuasai oleh Sultan Perlak Pedalaman yang beraliran Sunni. Kehadiran pasukan Sriwijaya di wilayah Perlak, segera direspon oleh Sultan Malik Ibrahim Syah dengan mengobarkan semangat rakyat Perlak untuk melawan Sriwijaya.
Pertempuran besar pun terjadi selama bertahun-tahun. Perang antara kedua kerajaan itu baru berakhir pada tahun 1006 M, ketika Sriwijaya memutuskan mundur dari pertempuran untuk bersiap menghadapi serangan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa.
Dengan berakhirnya perang antara Kesultanan Perlak dan Kerajaan Sriwijaya, wilayah Perlak secara keseluruhan dipimpin oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah yang berasal dari golongan Sunni. Pada masa ini kondisi Kesultanan Perlak relatif damai, tanpa adanya peperangan melawan kerajaan luar.
Berikut nama-nama Sultan Perlak dan masa pemerintahannya setelah meninggalnya Sultan Malik Irahim Syah:
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (1023-1059 M).
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (1059-1078 M).
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (1078-1109 M).
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat (1109-1135 M)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (1135-1160 M)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat (1160-1173).
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat (1173-1200)
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulta (1200-1230).
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Azis Syah Johan Berdaulta (1267-1292).
Kemunculan Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1267 M, perlahan-perlahan menyaingi pamor dari Kesultanan Perlak. Sultan Malik Abdul Aziz Syah merupakan sultan terakhir Kesultanan Perlak.
Setelah ia wafat, wilayah Kesultanan Perlak digabungkan degan Kerajaan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik al-Zahir, putra dari Merah Silu. Penggabungan yang dilakukan Sultan Samudera Pasai itu, sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan kesultanan pertama di Nusantara.
KERAJAAN SAMUDERA PASAI
Kerajaan Samudera Pasai adalah salah satu kerjaan Islam pertama di Indonesia. Tidak banyak informasi yang bisa didapatkan tentang kerajaan ini. Satu-satunya yang diperoleh oleh para arkeolog berdasarkat literature Hikayat Raja-Raja Pasai dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya
Kerajaan Samudera Pasai dikenal juga dengan nama Kerajaan Samudera Darussalam atau Kesultanan Pasai. Kerajaan ini terletak di pesisir utara pulau Sumatera atau persisnya di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara. Provinsi Aceh.
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Nazimuddin Al Kamil pada abad ke-13. Nazimuddin Al Kamil adalah seorang laksamana laut dari Mesir. Beliau diperintahkan pada tahun 1238 M untuk merebut pelabuhan kambayat di Gujarat yang tujuannya untuk dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin al-Kamil juga mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera bagian utara. Tujuan utamanya adalah untuk dapat menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada.
Beliau mengangkat Marah Silu sebagai Raja Pasai pertama. Setelah naik tahta Marah Silu berganti nama dan bergelar Sultan Malik As-Saleh. Masa akhir pemerintahan Sultan Malik As-Saleh sampai beliau wafat pada tahun 696 Hijriah atau 1297 Masehi.
Berdasarkan cerita-cerita kunjungan negara lain. Ada perbedaan pendapat mengenai kerajaan ini. Hal ini disebabkan karena ada yang memisahkan antara nama Pasai dan Samudera. Tapi catatan Tiongkok tidak memisahkan nama kerajaan ini dan meyakini ini adalah satu kerajaan. Sedangkan Marco Polo dalam catatan perjalanannya menulis daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Selama masa pemerintahan Sultan Malik As-Saleh. Sultan menikah dengan putri dari Kerajaan Perlak yaitu Gangang Sari. Dari pernikahan tersebut lahirlah Sultan Malik Az-Zahir I. Pada Masa Pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir ini Kerajaan mengalami masa keemasan.
Sultan Malik Az-Zahir I memperkenalkan pertama kali penggunaan emas di lingkungan kerajaan. Hal inilah yang mengakibatkan Kerajaan Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan terbesar di Sumatera pada saat itu. Kerajaan juga menjadi terkenal sebagai tempat penyebaran agama Islam.
Setelah masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir I digantikan oleh anaknya Sultan Ahmad I. Namun tidak berlangsung lama karena suatu hal maka digantikan oleh anak dari Sultan Ahmad I yaitu Sultan Malik Az-Zahir II. Pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir II, Kerajaan Samudera Pasai di datangi oleh musafir Maroko terkenal dunia yaitu Ibn Batuthah. Ibn Batuthah menulis dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) sekembalinya ke jazirah arab menceritakan bahwa salah satu Raja di daerah Samatrah (Sumatera) menyambutnya dengan ramah. Beliau juga mengungkapkan bahwa pengikutnya bermazhab Syafii.
Sayangnya pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir II pada tahun 1345. Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit kemudian serangan kedua pada tahun 1350 sehingga membuat keluarga Kerajaan harus mengungsi.
Masa Kejayaan
Masa kebangkitan kembali kerajaan Samudera Pasai adalah dibawah masa pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir. Tepatnya pada tahun 1383 sampai tahun 1405. Menurut catatan dari negeri Cina dalam bentuk kronik cina Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir dikenal dalam catatan tersebut dengan nama cina Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki. Namun saya masa pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir harus berakhir ditandai dengan tewasnya beliau di tangan Raja Nakur dalam sebuah pertempuran. Sejak itu Kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Janda Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yaitu Sultanah Nahrasiyah. Raja Perempuan pertama Kerajaan Samudera Pasai.
Dibawah tampuk kepemimpinan Sultanah Nahrasiyah, Kerajaan Samudera Pasai mengalami masa kejayaan. Pada masa pemerintahannya pernah didatangi seorang Laksamana Laut Cheng Ho. Armada Cheng Ho berkunjung berkali-kali ke Kerajaan Samudera Pasai antaranya tahun 1405, 1408 dan 1412.
Kerajaan Samudera Pasai dikenal juga dengan nama Kerajaan Samudera Darussalam atau Kesultanan Pasai. Kerajaan ini terletak di pesisir utara pulau Sumatera atau persisnya di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara. Provinsi Aceh.
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Nazimuddin Al Kamil pada abad ke-13. Nazimuddin Al Kamil adalah seorang laksamana laut dari Mesir. Beliau diperintahkan pada tahun 1238 M untuk merebut pelabuhan kambayat di Gujarat yang tujuannya untuk dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin al-Kamil juga mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera bagian utara. Tujuan utamanya adalah untuk dapat menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada.
Beliau mengangkat Marah Silu sebagai Raja Pasai pertama. Setelah naik tahta Marah Silu berganti nama dan bergelar Sultan Malik As-Saleh. Masa akhir pemerintahan Sultan Malik As-Saleh sampai beliau wafat pada tahun 696 Hijriah atau 1297 Masehi.
Berdasarkan cerita-cerita kunjungan negara lain. Ada perbedaan pendapat mengenai kerajaan ini. Hal ini disebabkan karena ada yang memisahkan antara nama Pasai dan Samudera. Tapi catatan Tiongkok tidak memisahkan nama kerajaan ini dan meyakini ini adalah satu kerajaan. Sedangkan Marco Polo dalam catatan perjalanannya menulis daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Selama masa pemerintahan Sultan Malik As-Saleh. Sultan menikah dengan putri dari Kerajaan Perlak yaitu Gangang Sari. Dari pernikahan tersebut lahirlah Sultan Malik Az-Zahir I. Pada Masa Pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir ini Kerajaan mengalami masa keemasan.
Sultan Malik Az-Zahir I memperkenalkan pertama kali penggunaan emas di lingkungan kerajaan. Hal inilah yang mengakibatkan Kerajaan Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan terbesar di Sumatera pada saat itu. Kerajaan juga menjadi terkenal sebagai tempat penyebaran agama Islam.
Setelah masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir I digantikan oleh anaknya Sultan Ahmad I. Namun tidak berlangsung lama karena suatu hal maka digantikan oleh anak dari Sultan Ahmad I yaitu Sultan Malik Az-Zahir II. Pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir II, Kerajaan Samudera Pasai di datangi oleh musafir Maroko terkenal dunia yaitu Ibn Batuthah. Ibn Batuthah menulis dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) sekembalinya ke jazirah arab menceritakan bahwa salah satu Raja di daerah Samatrah (Sumatera) menyambutnya dengan ramah. Beliau juga mengungkapkan bahwa pengikutnya bermazhab Syafii.
Sayangnya pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir II pada tahun 1345. Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit kemudian serangan kedua pada tahun 1350 sehingga membuat keluarga Kerajaan harus mengungsi.
Masa Kejayaan
Masa kebangkitan kembali kerajaan Samudera Pasai adalah dibawah masa pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir. Tepatnya pada tahun 1383 sampai tahun 1405. Menurut catatan dari negeri Cina dalam bentuk kronik cina Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir dikenal dalam catatan tersebut dengan nama cina Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki. Namun saya masa pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir harus berakhir ditandai dengan tewasnya beliau di tangan Raja Nakur dalam sebuah pertempuran. Sejak itu Kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Janda Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yaitu Sultanah Nahrasiyah. Raja Perempuan pertama Kerajaan Samudera Pasai.
Dibawah tampuk kepemimpinan Sultanah Nahrasiyah, Kerajaan Samudera Pasai mengalami masa kejayaan. Pada masa pemerintahannya pernah didatangi seorang Laksamana Laut Cheng Ho. Armada Cheng Ho berkunjung berkali-kali ke Kerajaan Samudera Pasai antaranya tahun 1405, 1408 dan 1412.
Berikut ini adalah urutan para raja yang
memerintah di Samudera Pasai, yakni:
- Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh).
- Sultan Malikul Zahir, meninggal tahun 1326.
- Sultan Muhammad, wafat tahun 1354.
- Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383.
- Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405.
- Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428.
Cheng
ho dalam laporannya yang ditulis oleh pembantunya seperti Ma Huan dan
Fei Xin. Dalam catatannya menuliskan bahwa batas wilayah Kerajaan
Samudera Pasai adalah sebelah selatan dan timur terdapat pegunungan
tinggi. Sebelah timur berbatasan dengan kerajaan Aru. Utara dengan laut
dan dua kerajaan disebelah barat yaitu Kerajaan nakur dan Kerajaan Lide.
Terus kearah barat ada kerajaan Lamuri yang jika kesana perjalannya
menempuh jarak 3 hari dan 3 malam dari pasai.
Adanya Samudera Pasai ini diperkuat oleh catatan Ibnu Batutah, sejarawan dari Maroko. Kronik dari orang-orang Cina pun membuktikan hal ini. Menurut Ibnu Batutah, Samudera Pasai merupakan pusat studi Islam. Ia berkunjung ke kerajaan ini pada tahun 1345-1346. Ibnu Batutah menyebutnya sebagai “Sumutrah”, ejaannya untuk nama Samudera, yang kemudian menjadi Sumatera.
Adanya Samudera Pasai ini diperkuat oleh catatan Ibnu Batutah, sejarawan dari Maroko. Kronik dari orang-orang Cina pun membuktikan hal ini. Menurut Ibnu Batutah, Samudera Pasai merupakan pusat studi Islam. Ia berkunjung ke kerajaan ini pada tahun 1345-1346. Ibnu Batutah menyebutnya sebagai “Sumutrah”, ejaannya untuk nama Samudera, yang kemudian menjadi Sumatera.
Ketika singgah di pelabuhan Pasai, Batutah
dijemput oleh laksamana muda dari Pasai bernama Bohruz. Lalu laksmana tersebut
memberitakan kedatangan Batutah kepada Raja. Ia diundang ke Istana dan bertemu
dengan Sultan Muhammad, cucu Malik as-Saleh. Batutah singgah sebentar di
Samudera Pasai dari Delhi, India, untuk melanjutkan pelayarannya ke Cina.
Sultan Pasai ini diberitakan melakukan hubungan dengan Sultan Mahmud di Delhi
dan Kesultanan Usmani Ottoman. Diberitakan pula, bahwa terdapat pegawai yang
berasal dari Isfahan (Kerajaan Safawi) yang mengabdi di istana Pasai. Oleh
karena itu, karya sastra dari Persia begitu populer di Samudera Pasai ini.
Untuk selanjutnya, bentuk sastra Persia ini berpengaruh terhadap bentuk
kesusastraan Melayu kemudian hari. Berdasarkan catatan Batutah, Islam telah ada
di Samudera Pasai sejak seabad yang lalu, jadi sekitar abad ke-12 M. Raja dan
rakyat Samudera Pasai mengikuti Mazhab Syafei. Setelah setahun di Pasai,
Batutah segera melanjutkan pelayarannya ke Cina, dan kembali ke Samudera Pasai
lagi pada tahun 1347.
Bukti lain dari keberadaan Pasai adalah
ditemukannya mata uang dirham sebagai alat-tukar dagang. Pada mata uang ini
tertulis nama para sultan yang memerintah Kerajaan. Nama-nama sultan
(memerintah dari abad ke-14 hingga 15) yang tercetak pada mata uang tersebut di
antaranya: Sultan Alauddin, Mansur Malik Zahir, Abu Zaid Malik Zahir, Muhammad
Malik Zahir, Ahmad Malik Zahir, dan Abdullah Malik Zahir. Pada abad ke-16,
bangsa Portugis memasuki perairan Selat Malaka dan berhasil menguasai Samudera
Pasai pada 1521 hingga tahun 1541. Selanjutnya wilayah Samudera Pasai menjadi kekuasaan
Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Waktu itu yang menjadi
raja di Aceh adalah Sultan Ali Mughayat.
KERAJAAN
ACEH
Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Kerajaan Aceh menjalani masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa ini, kerajaan aceh mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang, baik dalam hal wilayah kekuasaan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, maupun kemiliteran kerajaan.
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel. Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Berikut adalah silsilah sultan sultan yang berkuasa di kerajaan aceh darussalam, silsilahnya adalah sebagai berikut :
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Kerajaan Aceh menjalani masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa ini, kerajaan aceh mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang, baik dalam hal wilayah kekuasaan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, maupun kemiliteran kerajaan.
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel. Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Berikut adalah silsilah sultan sultan yang berkuasa di kerajaan aceh darussalam, silsilahnya adalah sebagai berikut :
- Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah 916-936 H (1511 - 1530 M)
- Sultan Salahuddin 939-945 H (1530 - 1539M)
- Sultan Alaidin Riayat Syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 - 979 H (1539 - 1571M)
- Sultan Husain Alaidin Riayat Syah III, 979 - 987 H (1571 - 1579 M)
- Sultan Muda Bin Husain Syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari
- Sultan Mughal Seri Alam Pariaman Syah,987 H (1579M) selama 20 hari
- Sultan Zainal Abidin, 987 - 988 H (1579 - 1580 M)
- Sultan Aialidin Mansyur Syah, 989 -995H (1581 -1587M)
- Sultan Mugyat Bujang, 995 - 997 H (1587 - 1589M)
- Sultan Alaidin Riayat Syah IV, 997 - 1011 H (1589 - 1604M)
- Sultan Muda Ali Riayat Syah V 1011 - 1015 H (1604 - 1607M)
- Sultan Iskandar Muda Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah 1016 - 1045H (1607 - 1636M)
- Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani,1045 - 1050 H (1636 - 1641M)
- Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, 1050-1086H (1641 - 1671M)
- Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (anak angkat Safiatuddin), 1086 - 1088 H (1675-1678 M)
- Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (putri dari Naqiatuddin) 1088 - 1098 H (1678 - 1688M)
- Sultanah Sri Ratu Kemalat Syah (anak angkat Safiatuddin) 1098 - 1109 H (1688 - 1699M)
- Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalul Lail 1110 - 1113 H (1699 - 1702M)
- Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtoi Bin Syarif Ibrahim. 1113 - 1115H (1702 -1703 M)
- Sultan Jamalul Alam Badrul Munir Bin Syarif Hasyim 1115 - 1139 H (1703 - 1726M)
- Sultan Jauharul Alam Imaduddin,1139H (1729M)
- Sultan Syamsul Alam Wandi Teubeueng
- Sultan Alaidin Maharaja Lila Ahmad Syah 1139 - 1147H (1727 - 1735H)
- Sultan Alaidin Johan Syah 1147 - 1174 (1735-1760M)
- Sultan Alaidin Mahmud Syah 1174 -1195 H (1760 - 1781M)
- Sultan Alaidin Muhammad Syah 1195 -1209 H (1781 - 1795M)
- Sultan Husain Alaidin Jauharul Alamsyah,1209 -1238 H (1795-1823M)
- Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah 1238 - 1251 H (1823 - 1836M)
- Sultan Sulaiman Ali Alaidin Iskandar Syah 1251-1286 H (1836 - 1870 M)
- Sultan Alaidin Mahmud Syah 1286 - 1290 H (1870 - 1874M)
- Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, 1290 -.....H (1884 -1903 M)
KERAJAAN
MALAKA
Kerajaan Malaka (orang Malaysia menyebutnya Melaka) terletak di jalur pelayaran dan perdagangan antara Asia Barat dengan Asia Timur. Sebelum menjadi kerajaan yang merdeka, Malaka termasuk wilayah Majapahit.
Pendiri Malaka adalah Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya (Palembang). Ketika di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura. Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan surat jalan.
Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires, Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurut Sejarah Melayu, pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja pengganti Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Aziz dari Jedah, Arab. Setelah masuk Islam, Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama muslim. Pendapat lain menyatakan, Malaka diislamkan oleh Samudera Pasai. Sri Maharaja memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia lalu digantikan oleh Sri Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama Ibrahim Abu Said. Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai masa keemasannya. Ketika itu, wilayah Malaka melingkupi Pahang, Trengganu, Pattani (sekarang termasuk wilayah Thailand), serta Kampar dan Indragiri di Sumatera.
Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan Mansur Syah, dikenal juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan diserahkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488.
Malaka mengalami masa kejayaan sebagai kesultanan islam pada abad ke-15. Dimana pada masa kejayaannya malaka tampil sebagai pusat pengajian dan penyebaran Islam terbesar di Asia Tenggara. Bahkan para sultan yang berkuasa mendatangkan ulama-ulama dari luar negri seperti, Makhdum Sayyid Abdul Aziz, Maulana Abu, Kadhi Yusuf, Kadhi Manua, Khadi Munawar Syah, Dan Maulana Sadar Johan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah dengan dibantu oleh Bendahara Tuan Perak dan Laksamana Hang Tuah, Kesultanan malaka mengalami multan Masa kejayaannya. Sultan Mansyur Syah dapat menguasai pahang, kerajaan-kerajaan kecil di sumatera, kampar, siak, dan rokan untuk di taklukkan dan diislamkan.
Malaka tidak hanya berfungsi sebagai pusat niaga di Asia Tenggara, tetapi juga merupakan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Di malaka para pedagang Islam dari Arab, India, dan Persia tidak hanya melakukan aktivitas dagang, tetapi juga merupakan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Di Malaka para pedagang Islam dari Arab, India, dan Persia tidak hanya melakukan aktivitas dagang, tetapi juga menyebarkan Islam kepada para pedagang yang ada di Malaka. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa Malaka tidak hanya sebagai bandar niaga yang terbesar di Asia Tenggara, tetapi telah berperan sebagai sarana pengubah keyakinan masyarakat Asia tenggara. Perubahan ini terjadi secara damai, tidak melalui jalan pemaksaan.
Pada tahun1511, Portugis di bawah pimpinan Alfonso d”Albuquerque datang dari Goa, India dan menyerang Kesultanan Malaka dan akhirnya Malaka sebagai pusat niaga dan pusat penyiaran Islam terbesar di Asia Tenggara berhasil ditaklukkan oleh portugis. Dalam perang melawan portugis, Sultan Mahmud Syah berhasil menyelamatkan diri ke pahang, kemudian ke johordan kemudian ke bintan. Akhirnya, Pada tahun 1529, Sultan Mahmud Syah meninggal dalam pelarian di kampar, Riau. (Djoko Purwanto & Emmy Indriyawati, 2006: 10).
Berikut merupakan raja-raja yang pernah memimpin di kerajaan Malaka;
Pendiri Malaka adalah Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya (Palembang). Ketika di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura. Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan surat jalan.
Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires, Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurut Sejarah Melayu, pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja pengganti Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Aziz dari Jedah, Arab. Setelah masuk Islam, Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama muslim. Pendapat lain menyatakan, Malaka diislamkan oleh Samudera Pasai. Sri Maharaja memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia lalu digantikan oleh Sri Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama Ibrahim Abu Said. Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai masa keemasannya. Ketika itu, wilayah Malaka melingkupi Pahang, Trengganu, Pattani (sekarang termasuk wilayah Thailand), serta Kampar dan Indragiri di Sumatera.
Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan Mansur Syah, dikenal juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan diserahkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488.
Malaka mengalami masa kejayaan sebagai kesultanan islam pada abad ke-15. Dimana pada masa kejayaannya malaka tampil sebagai pusat pengajian dan penyebaran Islam terbesar di Asia Tenggara. Bahkan para sultan yang berkuasa mendatangkan ulama-ulama dari luar negri seperti, Makhdum Sayyid Abdul Aziz, Maulana Abu, Kadhi Yusuf, Kadhi Manua, Khadi Munawar Syah, Dan Maulana Sadar Johan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah dengan dibantu oleh Bendahara Tuan Perak dan Laksamana Hang Tuah, Kesultanan malaka mengalami multan Masa kejayaannya. Sultan Mansyur Syah dapat menguasai pahang, kerajaan-kerajaan kecil di sumatera, kampar, siak, dan rokan untuk di taklukkan dan diislamkan.
Malaka tidak hanya berfungsi sebagai pusat niaga di Asia Tenggara, tetapi juga merupakan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Di malaka para pedagang Islam dari Arab, India, dan Persia tidak hanya melakukan aktivitas dagang, tetapi juga merupakan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Di Malaka para pedagang Islam dari Arab, India, dan Persia tidak hanya melakukan aktivitas dagang, tetapi juga menyebarkan Islam kepada para pedagang yang ada di Malaka. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa Malaka tidak hanya sebagai bandar niaga yang terbesar di Asia Tenggara, tetapi telah berperan sebagai sarana pengubah keyakinan masyarakat Asia tenggara. Perubahan ini terjadi secara damai, tidak melalui jalan pemaksaan.
Pada tahun1511, Portugis di bawah pimpinan Alfonso d”Albuquerque datang dari Goa, India dan menyerang Kesultanan Malaka dan akhirnya Malaka sebagai pusat niaga dan pusat penyiaran Islam terbesar di Asia Tenggara berhasil ditaklukkan oleh portugis. Dalam perang melawan portugis, Sultan Mahmud Syah berhasil menyelamatkan diri ke pahang, kemudian ke johordan kemudian ke bintan. Akhirnya, Pada tahun 1529, Sultan Mahmud Syah meninggal dalam pelarian di kampar, Riau. (Djoko Purwanto & Emmy Indriyawati, 2006: 10).
Berikut merupakan raja-raja yang pernah memimpin di kerajaan Malaka;
- Iskandar Syah (1396-1414 M)
- Muhammad Iskandar Syah (1414-1424 M)
- Mudzafat Syah (1424-1458 M)
- Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M)
- Sultan Alaudin Syah (1477-188 M)
- Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M)
Sesungguhnya, Kerajaan Malaka ini tidak termasuk wilayah Indonesia, melainkan Malaysia. Namun, karena kerajaaan ini memegang peranan penting dalam kehidupan politik dan kebudayaan Islam di sekitar perairan Nusantara. Para ahli sejarah memiliki pendapat yang berbeda tentang kapan malaka lahir. Seorang penulis portugis, Tome Pires yng tinggal di malaka dari tahun 1512-1515, mengatakan bahwa malaka telah di buka lebih kurang seratus tahun sebelum malaka ditaklukkan oleh bangsanya. Seorang portugis lainnya, De Barros, mengatakan bahwa malaka telah ada sejak dua ratus lima puluh tahun sebelum ditaklukkan oleh bangsanya.
Kerajaan Malaka dapat digolongkan ke dalam kerajaan tertua di indonesia. Alasannya, kerajaan ini menempati kedudukan istimewa di dalam perkembangan sejarah indonesia. Kerajaan Malaka merupakan salah satu kerajaan terkemuka di Sumatra bagian selatan waktu itu. Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di Jambi, yaitu di tepi kanan-kiri Sungai Batanghari. Pada Sungai Batanghari ini ditemukan peninggalan purba berupa candi-candi, arca dan lainnya.
Sumber sejarah yang dapat digunakan untuk menyelidiki kerajaan Malaka hanyalah berasal dari sumber berita Cina, sedangkan berita-berita dari prasasti tidak ada.
Seorang musafir Cina yang bernama I-Tsing (671-695 M) menyebutkan di dalam bukunya, bahwa abad ke-7 M secara politik kerajaan Malaka dimasukkan ke dalam kerajaan Sriwijaya. Karena letaknya yang strategis(sebagai persimpangan lalu lintas dunia) maka malaka sejak abad ke-15 Malaka pusat perdagangan dan pelayaran terbesar di Asia Tenggara. Lewat hubungan ini pula agama islam cepat menyebar kewilayah Nusantara, Brunei, dan filipina Selatan. Dari malaka perdagangan indonesia dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang kebarat sampai di India, Persia, Arabia, Syria, Afrika Timur, dan laut Tengah.
Kerajaan Malaka dapat digolongkan ke dalam kerajaan tertua di indonesia. Alasannya, kerajaan ini menempati kedudukan istimewa di dalam perkembangan sejarah indonesia. Kerajaan Malaka merupakan salah satu kerajaan terkemuka di Sumatra bagian selatan waktu itu. Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di Jambi, yaitu di tepi kanan-kiri Sungai Batanghari. Pada Sungai Batanghari ini ditemukan peninggalan purba berupa candi-candi, arca dan lainnya.
Sumber sejarah yang dapat digunakan untuk menyelidiki kerajaan Malaka hanyalah berasal dari sumber berita Cina, sedangkan berita-berita dari prasasti tidak ada.
Seorang musafir Cina yang bernama I-Tsing (671-695 M) menyebutkan di dalam bukunya, bahwa abad ke-7 M secara politik kerajaan Malaka dimasukkan ke dalam kerajaan Sriwijaya. Karena letaknya yang strategis(sebagai persimpangan lalu lintas dunia) maka malaka sejak abad ke-15 Malaka pusat perdagangan dan pelayaran terbesar di Asia Tenggara. Lewat hubungan ini pula agama islam cepat menyebar kewilayah Nusantara, Brunei, dan filipina Selatan. Dari malaka perdagangan indonesia dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang kebarat sampai di India, Persia, Arabia, Syria, Afrika Timur, dan laut Tengah.
KERAJAAN SIAK
SRI INDRAPURA
Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah
sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi
Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari
Pagaruyung Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah
kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir
timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa.
Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat,
sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan. Pasang
surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan
jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung
dengan Republik Indonesia.
Istana ini berdiri pada tahun 1889 semasa
kejayaan Raja Sultan Syarif Hasyim ayahanda dari sultan Syarif Kasim sebagai
raja terakir yang menjadi pahlawan
nasional. Istana kerajaan Siak adalah sebuah kerajaan Melayu islam yang
terbesar di Riau, yang mencapai masa jayanya pada abad ke 16 sampai abad ke
20.Konon nama Siak berasal dari nama tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang
banyak terdapat di situ. Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan Setelah Raja
Kecik dewasa, pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul
Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik
Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Setelah Raja Kecik dewasa, pada
tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan
Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang
merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam silsilah Sultan-sultan
Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725 dengan 12 sultan yang
pernah bertahta. Di tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan
wilayah dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak,
membangun pertahanan armada laut di Bintan bahkan di tahun 1740-1745 menaklukan
beberapa kawasan di Kedah.
Kerajaan Siak diwariskan kepada anak
cucunya dengan garis keturunan berdasarkan Syariat Islam (keturunan ayah).
Berikut ini adalah sulthan jang memerintah keradjaan Siak Sri Indrapura :
- Raja Kecik
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1746
M) dengan ibukota Kerajaan di Buantan mangkat di Buantan yang disebut rakyat
almarhum Buantan.
- Tengku Buang Asmara
Memerintah antara tahun 1746-1765 M yang
merupakan Putra Bungsu Raja Kecik dengan ibukota Kerajaan di Sungai Mempura
yang disebut rakyat almarhum Mempura.
- Tengku Ismail
Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah
(1765-1766 M). Putra Tengku Buang Asmara dengan Ibukota Kerajaan di Sungai
Mempura Besar, disebut rakyat almarhum mangkat di Balai atau terkenal juga
Sultan Kudung karena tangan almarhum sebelahnya Kudung, dalam perlawanannya
menentang Belanda tahun 1766 M.
- Tengku Alam
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
(1766-1780 M). Putra sulung Raja Kecik dengan Ibukota Kerajaan di Senapelan
(Pekanbaru), mangkat di Senapelan (dekat mesjid Raya Pekanbaru) disebut rakyat
almarhum Bukit.
- Tengku Muhammad Ali Panglima Besar
Sultan Ali Abdul Jalil Muazzam Syah
(1780-1782 M). Putra Tengku Alam dengan Ibukota Kerajaan di Senapelan, mangkat
di Senapelan dan disebut rakyat almarhum Pekan (yang menghubungkan Kota
Pekanbaru, Minangkabau dan Indragiri).
- Tengku Yahya
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzzaffar Syah
(1782-1784 M). Putra dari Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah, dengan
Ibukota Kerajaan di Sungai Mempura, mangkat di Dungun (Malaka) disebut rakyat
almarhum Dungun.
- Tengku Sayed Ali
Sultan Assyaidis Sarif Ali Abdul Jalil
Syarifuddin (1784-1810 M). Putra Tengku Embung Badariah (Putri Tengku Alam)
yang kawin dengan Sayed Syarief Usman Syahbuddin (Arab). Ibukota Kerajaan di
Kota Tinggi (Siak Sri Indrapura), mangkat di Kota Tinggi disebut rakyat
almarhum Kota Tinggi.
- Tengku Sayed Ibrahim
Sultan Assyaidis Syarief Ibrahim Abdul
Jalil Khaliluddin (1810-1815 M) karena kesehatan Sultan terganggu, maka
Pemerintahan dijalankan oleh wali Sultan. Pada tahun 1813, Sultan Ibrahim
mangkat dan dimakamkan di Kota Tinggi yang disebut rakyat almarhum Pura Kecil.
- Tengku Sayed Ismail
Sultan Assyaidis Syarief Ismail Abdul Jalil
Syarifuddin (1815-1864 M). Pada masa pemerintahan beliaulah adanya Tractat
Siak-Belanda dimana Belanda mengakui Siak. Dimakamkan di Kota Tinggi yang disebut
almarhum Indrapura.
10.
Tengku Panglima Besar Sayed Kasyim I
Tengku Panglima Besar Sayed Kasyim I,
Sultan Assyaidis Syarief Kasim I Abdul Jalil Syarifuddin (1864-1889 M) putra
dari Sultan Ismail. Dimakamkan di Kota Tinggi dan disebut almarhum Mahkota.
- Tengku Ngah Sayed Hasyim
Sultan Assyaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil
Syarifuddin (1889-1908), putra dari Sultan Kasyim I. Sultan Syarif Hasyim
mendirikan Istana yang diberi nama Istana Asserayah Hasyimiah. Mangkat di
Singapura dan dimakamkan di Kota Tinggi. Disebut rakyat almarhum Baginda.
- Tengku Putra Sayed Kasyim
Sultan Assyaidis Syarief Kasyim Sani (II)
Abdul Jalil Syarifuddin (3 Maret 1915-1946). Beliau merupakan Sultan yang
terakhir dari Kerajaan Siak. Beliau mangkat di Rumah Sakit Caltex Rumbai dan
dimakamkan disamping Mesjid Syahbuddin Siak Sri Indrapura pada tanggal 24 April
1968.
Peninggalan kerajaan berupa komplek Istana
Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil
Syaifuddin pada tahun 1889 dengan nama Istana Asserayyah Al Hasyimiah. Istana
Asserayyah Al Hasyimiah ini disebut juga "Istana Matahari Timur" ditukangi
oleh arsitekdari Jerman yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa, India dan Arab
dengan perpaduan tradisional
KERAJAAN
PEKANTUA KAMPAR
Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan
Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua, yang
berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama Kerajaan
Pekantua diubah menjadi Kerajaan Pekantua Kampar.
Sejak saat itulah Islam berkembang di
Kerajaan Pekantua Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti
putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir bersamaan, di Malaka
Sultan Mansyur Syah mangkat, dan secara berurutan digantikan oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah I, kemudian Sultan Mahmud Syah I. Sekitar tahun 1511,
Malaka diserang Portugis. Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud Syah I menyingkir
ke Muar, lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud Syah I sampai di
Kerajaan Pekantua Kampar.
Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu
Malaka melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke Gowa. Hal ini
menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud
Syah I yang tiba di Pekantua Kampar pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi
Raja Pekantua Kampar (1526-1528). Setelah mangkat, ia digantikan oleh putranya
hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar Sultan
Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).
Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat
Syah II meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah Semenanjung dan mendirikan
negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu (ibu kota Pekantua Kampar),
beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa
(1530-1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan oleh Tun
Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat (1575-1590).
Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu
Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Kerajaan Johor
berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya mengirim utusan ke Johor
untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi
Raja Pekantua Kampar.
Setelah mufakat dengan orang-orang Besar
Pekantua Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari Batin Muncak
Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik
dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan
permintaan Tun Megat. Ia lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya
bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun
1590, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar bergelar
Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja
Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan
kakeknya, Tun Perkasa.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara
berturut-turut digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja Lela Utama
(1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan kemudian Maharaja Lela
Utama (1675-1686).
Berikut adalah raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan Pekantua Kampar;
Berikut adalah raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan Pekantua Kampar;
- Munawar Syah (1505-1511)
- Raja Abdullah (1511-1515)
- Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
- Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
- Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
- Tun Hitam (1551-1575)
- Tun Megat (1575-1590)
- Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
- Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
- Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).
KASULTANAN PALEMBANG
Sejarah kerajaan Palembang atau kesultanan
Palembang terjadi dalam abad ke-17 M dan ke-18 M sampai dengan awal abad ke-19
M. Tempatnya adalah di kota Palempang dan sekitarnya, baik disebelah sungai
Musi maupun di hulu dan anak-anaknya, yang dikenal dengan Batanghan Sembilan.
Letaknya tidak terlalu jauh dan Kuala (- 90 KM) vang bermuara di selat Bangka.
Kota Palembang semula termasuk wilavah
kerajaan Budha Sriwijaya yang berkuasa dari tahun 683 M sampai kira-kira tahun
1371 M. Catatan mengenai waktu berakhirnya kerjaan Sriwijaya bermacam-macam,
yang pasti setelah runtuhnya kerajaan ini mengalami kekosongan kekuasaan, dan
menjadi taklukan kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke-15 sampai tahun
1527 M.
Salah seorang adipati Majapahit yang
berkuasa di Palembang adalah Aryo Damar (1455-1478), putra dari Prabu Brawijaya
(1447-1451) Aryo Damar kawin dengan putri Campa bekas istri Brawijaya, Sn
Kertabumi (1474-1478) dengan membawaanak Raden Fatah vang lahir di Palembang
dan dibesarkan oleh ayah tirinva yakni Aryo Damar (1455). Kemudian ia menjadi
pendiri kerajaan Demak pada tahun 1478
Sejarah penyebaran agama Islam di
kesultanan ini tak terlepas dari seorang yang lazim dinamakan Kyai atau guru
mengaji. Pada periode pemerintahan Kyai Mas Endi Pangeran Ario Kesumo
Abdurrahman (1659-1706) terkenal seorang ulama vang bernama K.H. Agus Khotib
Komad seorang ahli tafsir Al-Qur'an dan Fiqih, Tuan Faqih Jalaluddin
mengajarkan ilmu Al-Qur"an dan Ilmu Ushuluddin seorang ulama terkenal pada
periode Sultan Mansur Joyo Ing Lago (1700-1714). Ulama ini masih menjalankan
dakwahnya hingga masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin Sri Terung
(1714-1724) juga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo (1724-1758)
sampai akhir hayatnya pada tahun 1748. Sebulan setelah beliau wafat Sultan
Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo mendirikan masjid untuk wakaf kaum muslimin pada
tanggal 25 Juni 1748. Masjid tersebut masih ada hingga sekarang dan dikenal
dengan nama Masjid Agung.
Pada masa Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin
Adikesumo (1758-1776) lahir di Palembang seorang ulama besar yang bernama Syekh
Abdussomad Al-Palembani, beliau aktif mengembangkan agama Islam pada masa
Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Beliau memiliki reputasi internasional.
pernah belajar di Mekkah. dan pad abad ke-18 M. ia kembali ke Palembang dengan
membawa mutiara baru dalam Islam. Mutiara tersebut adalah Methode baru untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika ia berada di Mekah sempat hubungan
korespondensi dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta.
Setelah meninggalnya Sultan Badaruddin pada
tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun lalu digantikan oleh putranya
Sultan Mahmud Badaruddin. Ia merupakan raja yang terakhir memerintah secara
despotis. punya kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil dalam diplomasi
atau strategi perang. Juga perhatian luas dalam berbagai bidang diantaranya
pada bidang sastra.
Dengan kemerosotan VOC pada akhir abad ke-18 praktis monopolinya di
Palembang tidak dapat dipertahankan lagi dan faktorainya di tempat itu hampir
lenyap. Krisis ekonomi dan politik yang dihadapi VOC dan kemudian pemerintah
Belanda mempercepat peralihan kekuasaan ke tangan Inggris dan akhirnya
Palembang jatuh ke tangan ekspedisi Inggris Gillespie pada tanggal 24 April
1812.
Pemberontakan dibawah P. Abdurrahman dan
Jayaningrat pada tanggal 22 November 1821 yang gagal memberi alasan kepada
Belanda untuk menamatkan kesultanan Palembang. Susuhunan (ayah sultan Ahmad)
diamankan ke Batavia sedang sultan mengungsi ke hulu sungai Musi untuk
meneruskan perlaw anannya. Setelah bertahan selama delapan bulan ia pun ditawan
dan diasingkan di Manado dimana ia meninggal pada tahun 1844. Dengan demikian
berakhirlah dinasti Palembang yang berkuasa selam beberapa abad itu
Berikut merupakan para penguasa Kasultanan
Palembang
- Ario Dillah/Ario Damar (1455-1486)
- Pangeran Sedo Ing Lautan (? – 1528)
- Ki Gede ing Suro Tuo (1528-1545)
- KI Gede ing Suro Mudo (1546-1575)
- Ki Mas Adipati (1575-1587)
- Pangeran Madi ing Angsoko (1588-1623)
- Pangeran Madi Alit (1623-1624)
- Pangeran Seda in Pura (1624-1630)
- Pangeran Seda ing Kenayan (1630-1642)
- Pangeran Seda Ing Pasarean (1642-1643)
- Pangeran Mangkurat Seda ing Rejek (1643-1659)
- Kiai Mas Hindi (Sultan Abdurrahman) (1662-1706)
- Sultan Muhammad (Ratu) Mansyur Jayo ing Lago (1706-1718)
- Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718-1727)
- Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1727-1756)
- Sultan Ahmad Najamuddin I (1756-1774)
- Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1803)
- Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821)
- Sultan Husin Dhiauddin/ Sultan Ahmad Najamuddin II (adik Mahmud Badaruddin II) (1812-1813)
- Sultan Ahmad Najamuddin III (putra Mahmud Badaruddin II) (1819-1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin IV (putra Sultan Ahmad Najamuddin II) (1821-1823)
KASULTANAN MINANGKABAU/KERAJAAN PAGARUYUNG
Kerajaan Pagaruyung ialah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yg ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung. Kemudian hari, nama kerajaan ini dapat juga dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari negeri Pagaruyung, yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dlm yang berbunyi sebagai berikut Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalifatullah yang mempunyai tahta kerajaan dlm negeri Pagaruyung Darul Qadar Johan Berdaulat Zillullah fil 'Alam.Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur, Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupaken bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yg diterima oleh masyarakat Minangkabau tak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar. Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupaken putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yg disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut. Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377. Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.
Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan. Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupaken lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat.
Kerajaan ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya perjanjian antara kaum Adat dengan pihak Belanda telah menjadikan kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda. Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura ialah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.
Berikut adalah raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan Pagaruyung;
- Adityawarman (1347-13750
- Ananggawarman, anak Adityawarman (1375-1417)
- Dewang Pandan Putowano (Tuanku Marajo Sati I), menantu Ananggawarman
- Puti Panjang Rambut I (Bundo Kandung)
- Dewang Ramowano (Cindurmato)
- Dewang Ranggowano (Sultan Lembang Alam)
- Dewang Sari Deowano (Tuanku Marajo Sati II), Yamtuan Bakilap Alam
- Dewang Sari Magowano (Sri Raja Maharaja), Yamtuan Pasambahan
- Sultan Alif I Khalifatullah
- Yamtuan Rajo Gamuyang I
- Sultan Ahmadsyah Yamtuan Barandangan (1668-1674)
- Sultan Alif II, anak Sultan Ahmadsyah
- Yamtuan Rajo Bagagar Alamsyah, anak Sulthan Alif II
- Yamtuan Rajo Bagewang, anak dari Yamtuan Rajo Pangat I—cicit Sultan Alif I
- Yamtuan Rajo Gamuyang II, anak dari Yamtuan Rajo Bagewang
- Sultan Zainal Arifin Muningsyah (1780-1821
- Yang Dipertuan Patah, anak dari Muningsyah
- Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagarsyah, anak dari YDP Patah (1821-1833)
KERAJAAN
INDRAGIRI
Cikal bakal berdirinya Kesultanan Indragiri tidak bias dipisahkan dari keberadaan Kerajaan Keritang. Nama Keritang diperkirakan berasal dari istilah “akar itang” yang diucapkan dengan lafal ‘keritang’. Sementara Itang adalah sejenis tumbuhan yang banyak terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal bagian hulu yang menjalar di sepanjang tebing-tebing sungai. Sungai Gangsal mengaliri wilayah Kota Baru, (sekarang) ibu kota Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Selain pemaknaan di atas, ada pula yang menyebut bahwa nama ‘Keritang’ identik dengan istilah ‘Kitang’, yaitu sejenis siput yang berhabitat di hulu Sungai Gangsal.
Asal Muasal Kerajaan Keritang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir adab ke-13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari utara dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah. Salah satunya menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri
Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu Indra yang berarti mahligai dan Giri yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai Kerajaan Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan Malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. Pada generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II beristerikan Putri Dang Purnama, bersamaan didirikannya Rumah Tinggi di Kampung Dagang.
Raja Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Iskandar Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk mewakili dirinya di beberapa daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar sebagai Raja di Padang yang membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah tempat di pesisir sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raja di Rantau yang menguasai tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan sungai-sungai besar lainnya, seperti desa-desa di sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang tepi Batang Kuantan.
Raja Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Iskandar Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk mewakili dirinya di beberapa daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar sebagai Raja di Padang yang membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah tempat di pesisir sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raja di Rantau yang menguasai tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan sungai-sungai besar lainnya, seperti desa-desa di sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang tepi Batang Kuantan.
Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai ke Indragiri, namun Sultan Mahmudsyah belum berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak yang berkeliaran. Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat Kesultanan Indragiri. Tetapi, para pemuda di Indragiri telah bersikap dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan sendiri sudah mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan secara rahasia untuk membicarakan penyatuan Kasultanan Indragiri dengan NKRI.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Indragiri (Hulu & Hilir) masih menjadi satu kabupaten. Indragiri terdiri atas 3 kawedanan, yaitu Kawedanan Kuantan Singingi beribu kota Teluk Kuantan, Kawedanan Indragiri Hulu beribu kota Rengat, dan kawedanan Indragiri Hilir beribu kota Tembilahan. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1965 tanggal 14 Juno 1965, Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 49, Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir resmi menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri Hilir (sekarang Kabupaten Indragiri Hilir) sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Riau terhitung tanggal 20 November 1965. Adapun Silsilah dari Kerajaan ini sebagai berikut :
Asal Muasal Kerajaan Keritang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir adab ke-13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari utara dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah. Salah satunya menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri
Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu Indra yang berarti mahligai dan Giri yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai Kerajaan Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan Malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. Pada generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II beristerikan Putri Dang Purnama, bersamaan didirikannya Rumah Tinggi di Kampung Dagang.
Raja Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Iskandar Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk mewakili dirinya di beberapa daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar sebagai Raja di Padang yang membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah tempat di pesisir sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raja di Rantau yang menguasai tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan sungai-sungai besar lainnya, seperti desa-desa di sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang tepi Batang Kuantan.
Raja Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Iskandar Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk mewakili dirinya di beberapa daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar sebagai Raja di Padang yang membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah tempat di pesisir sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raja di Rantau yang menguasai tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan sungai-sungai besar lainnya, seperti desa-desa di sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang tepi Batang Kuantan.
Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai ke Indragiri, namun Sultan Mahmudsyah belum berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak yang berkeliaran. Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat Kesultanan Indragiri. Tetapi, para pemuda di Indragiri telah bersikap dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan sendiri sudah mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan secara rahasia untuk membicarakan penyatuan Kasultanan Indragiri dengan NKRI.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Indragiri (Hulu & Hilir) masih menjadi satu kabupaten. Indragiri terdiri atas 3 kawedanan, yaitu Kawedanan Kuantan Singingi beribu kota Teluk Kuantan, Kawedanan Indragiri Hulu beribu kota Rengat, dan kawedanan Indragiri Hilir beribu kota Tembilahan. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1965 tanggal 14 Juno 1965, Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 49, Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir resmi menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri Hilir (sekarang Kabupaten Indragiri Hilir) sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Riau terhitung tanggal 20 November 1965. Adapun Silsilah dari Kerajaan ini sebagai berikut :
- Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I. Memerintah pada tahun 1298 - 1337 M, beliau adalah Sultan Indragiri pertama yang merupakan Putra Mahkota dari Kerajaan Melaka
- Raja Iskandar alias Nara Singa I. Memerintah pada tahun 1337 - 1400 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua.
- Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya. Memerintah pada tahun 1400 - 1473 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga.
- Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II. Memerintah pada tahun 1473 - 1452 M dan merupakan Sultan Indragiri ke empat, dimakamkan di Pekan Tua / Kota Lama
- Sultan Usulluddin Hasansyah. Memerintah pada tahun 1532 - 1557 M dan merupakan Sultan Indragiri ke lima.
- Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah. Memerintah pada tahun 1557 - 1599 M dan merupakan Sultan Indragiri ke enam.
- Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah. Memerintah pada tahun 1559 - 1658 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh.
- Sultan Jamalluddin Suleimansyah. Memerintah pada tahun 1658 - 1669 M dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan.
- Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1669 - 1676 M dan merupakan Sultan Indragiri ke Sembilan.
- Sultan Usulluddin Ahmadsyah. Memerintah pada tahun 1676 - 1687 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sepuluh.
- Sultan Abdul Jalilsyah. Memerintah pada tahun 1687 - 1700 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sebelas.
- Sultan Mansyursyah. Memerintah pada tahun 1700 - 1704 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua belas.
- Sultan Modamadsyah. Memerintah pada tahun 1704 - 1707 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga belas.
- Sultan Musafarsyah. Memerintah pada tahun 1707 - 1715 M dan merupakan Sultan Indragiri ke empat belas.
- Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri. Pada awalnya beliau merupakan Mangkubumi Indragiri kemudian menjadi Sultan Indragiri ke lima belas yang memerintah pada tahun 1715 - 1735 M dan dimakamkan di Kota Lama.
- Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah. Memerintah pada tahun 1735 - 1765 M dan merupakan Sultan Indragiri enam belas. Dimakamkan di Kampung Tambak sebelah hilir Kota Rengat.
- Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan. Memerintah pada tahun 1765 - 1784 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh belas. Dimakamkan di Mesjid Daik Riau
- Sultan Ibrahim. Memerintah pada tahun 1784 - 1815 M dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan belas. Beliau adalah yang mendirikan kota Rengat dan pernah ikut dalam perang Teluk Ketapang untuk merebut kota melaka dari tangan Belanda pada tanggal 18 Juni 1784. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat
- Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu. Memerintah pada tahun 1815 - 1827 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sembilan belas, beliau pernah bertapa di puncak Gunung Daik.
- Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal. Memerintah pada tahun 1827 - 1838 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh.
- Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah. Memerintah pada tahun 1838 - 1876 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh satu.
- Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah. Memerintah pada tahun 1876 M - hanya seminggu naik tahta kerajaan kemudian meninggal dunia karena sakit dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh dua.
- Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah. Memerintah pada tahun 1877 - 1883M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua tiga. Dimakamkan di Raja Pura ( Japura)
- Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1887 - 1902 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh empat. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat
- Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri, memangku pada tahun 1902 - 1912 M.
- Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah. Memerintah pada tahun 1912 - 1963 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh lima. Oleh T.N.I diberikan pangkat Mayor Honorair TNI dengan surat penetapan Panglima T.N.I No. 228/PLM/Pers/1947 tanggal 11 Desember 1947.
KASULTANAN
JAMBI
Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang
berkedudukan di provinsi Jambi sekarang. Kerajaan ini berbatasan dengan
Kerajaan Indragiri dan kerajaan-kerajaan Minangkabau seperti Siguntur dan Lima
Kota di utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan Palembang
(kemudian Keresidenan Palembang). Jambi juga mengendalikan lembah Kerinci,
meskipun pada akhir masa kekuasaannya kekuasaan nominal ini tidak lagi
dipedulikan. Ibukota Kesultanan Jambi terletak di kota Jambi, yang terletak di
pinggir sungai Batang Hari.
Kejayaan kebudayaan Melayu Islam Jambi
dimulai masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar (1615–1643 M). Pada masa
kejayaannya maka kebudayaan Melayu Islam mampu menggantikan posisi kebudayaan
Melayu Budhis sebagai pusat ide dan inspirasi masyarakat. Dalam perkembangannya
ternyata pengaruh Islam sangat mendalam tertanam di hati dan jiwa orang Melayu
Jambi mencakup segala aspek kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik dan pemerintahan, kepercayaan, hukum adat,
pendidikan, bahasa, dan adat istiadat.
Pada tahun 1670 an keperkasaan Jambi
sebanding dengan Palembang dan Johor. Kondisi inilah yang menarik para pedagang
dan ulama datang ke Jambi, diantaranya Al-Habib Husen setelah beberapa saat
tinggal di Malaka atau Johor yang sekaligus membekali dengan kemampuan
berbahasa Melayu yang merupakan media pengikat dengan masyarakat Jambi. Ada
juga informasi bahwa Al-Habib Husen sebelum ke Jambi beliau menetap dan kawin
di Palembang. Beberapa tahun kemudian baru pindah dan menetap di Pecinan Seberang
Kota Jambi.
Berikut adalah daftar Sultan Jambi.
- 1790 – 1812 Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
- 1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
- 1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
- 1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
- 1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (pertama kali)
- 1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
- 1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
- 1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
- 2012 Abdurrachman Thaha Safiuddin (Dinobatkan pada Tanggal 18 Maret 2012)
DAFTAR PUSTAKA
- http://makalah-mantap.blogspot.com/2014/05/kerajaan-palembang.html
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Palembang
- https://kerajaanislamnusantara.weebly.com/kerajaan-islam-di-sumatra.htmlhttp://istanasiaksriindrapurablog.blogspot.com/2016/04/kerajaan-siak-sri-indrapura_87.html
- http://vjyhon.blogspot.com/2015/10/makalah-kerajan-kerajaan-yang-ada-di.html
- http://mawinmaxwin.blogspot.com/2016/04/tugas-sejarahsejarah-kesutanan-jambi.html
- https://tulisanorangcerdas.blogspot.com/2019/09/makalah-kerajaan-perlak-dan-kerajaan.html
- http://makalahkerajaanaceh.blogspot.com/
- https://haruai-wirang.blogspot.com/2017/01/kesultanan-malaka-awal-berdirinya.html
- https://id.wikipedia.org
http://wartasejarah.blogspot.com/2016/01/sejarah-kerajaan-pagaruyung-13471825.html - https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/sultan-of-indragiri/sejarah-lengkap-kesultanan-indragiri/