Selasa, 05 Mei 2020

KERAJAAN ISLAM DI TANAH JAWA


Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Kerajaan Cirebon adalah Kerajaan Islam terbesar dan pertama di Jawa Barat. Dalam proses perkembangannya Kerajaan Cirebon mengalami kemajuan yang sangat pesat di bidang perdagangan dan penyebaran Agama Islam. Cirebon memiliki letak yang sangat strategis karena pelabuhan di Cirebon disinggahi pedagang-pedagang dari luar. Tak dapat di sangkal Cirebon pernah menjadi  pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar bangsa, lokasinya terletak di bibir pantai antara Jawa Tengah dan Jawa Barat .
Sejak abad ke 15 M Cirebon sudah banyak didatangi pedagang Islam yang kemudian menetap. Oleh karena itu menurut Tome Pires, seorang pedagang Portugis yang pernah mengadakan pelayaran disepanjang pantai Utara Jawa pada tahun 1531, kerajaanPajajaran melarang orang-orang muslim terlalu banyak masuk ke dalam. Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menguasai wilayah Sunda termasuk hingga kewilayah Cirebon.
Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat itu di pimpin oleh raja yang bergelar Sri Paduka (Baduga) Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.Karena Prabu Siliwangi penganut ajaran Sang Hyang/Hindu-Budha, maka masuknya agama Islam dibatasi agar tidak mengancam kekuasaannya. Akan tetapi, penyebaran Islam di Cirebon menjadi berkembang pesat setelah Pangeran Cakrabuana menjadi Kuwu di Cirebon.
Pangeran Cakrabuana adalah Raden Walangsungsang, anak Sulung Prabu Siliwangi dan Permaisuri Nyai Subang Larang yang beragama Islam.Dari pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang lahir tiga keturunan bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara/Kian Santang.Setelah dewasa Raden Walangsungsang diperkenankan meninggalkan Pajajaran untuk memperdalam ilmu Islamnya disusul kemudian oleh adiknya Lara Santang.
Setelah mendirikan pedukuhan Raden Walangsungsang dan Lara Santang pergi menunaikan Ibadah Haji. Diperjalanannya Lara Santang menikah dengan Syarif Abdillah Bin Nurul Alim, Sultan Mesir yang bergelar Sulthon Makhmud Syarif Abdullah dari keluarga Bani Hasyim. Agar mudah diterima kemudian nama Lara Santang diubah menjadi Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini Syarifah Muda’im melahirkan dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah kelak menjadi Sultan pertama di Kesultanan Cirebon dan menjadi salah satu diantara Wali Songo, para penyebar agama Islam di Jawa.
Lewat Sunan Gunung Jati Kerajaan Cirebon menjadi kerajaan yang merdeka dari Kerajaan Padjajaran yang kemudian Sunan Gunung Jati menjadi raja pertama di Kerajaan Cirebon. Dalam konteks berikutnya Sunan Gunung Jati menyebarkan dakwahnya di Jawa Barat dan menjadi dari salah satu anggota Wali Songo.  Kerajaan Cirebon mengalami masa puncak kejayaannya pada masa Sunan Gunung Jati karena pada masa pemerintahannya Kerajaan Cirebon menjadi kerajaan besar dan menjadi pusat agama islam di Jawa Barat, pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati juga Kerajaan Cirebon berhasil mengusir Bangsa Portugis di Sunda Kelapa. Namun disamping masa keemasan Kerajaan Cirebon, pada akhir abad 17 mengalami kemundran. Faktor kemunduran Kerajaan Cirebon ialah kedatangan Bangsa Eropa yaitu Bangsa Belanda dengan persatuan dagangnya yaitu VOC .
Sepeninggal Sunan Gunung Jati, kedaulatan dan kewibawaan Kerajaan Cirebon terus berlanjut hingga kurang lebih satu abad sepeninggalan beliau. Kerajaan Cirebon mulai mundur ketika dijabat oleh Panembahan Girilaya karena sepeninggalan Panembahan Ratu 1, para penggantinya tidak memiliki kualifikasi yang cakap sebagai leader, di samping secara eksternal, kekuatan Mataram dan Banten mengalami perubahan sikap dalam memandang keberadaan Cirebon, yang tidak lagi sebagai kerajaan yang di hormati dan berwibawa sebagai mana pada masa Sunan Gunung Jati dan Panembahan Ratu.
raja yamg pernah memimpin di kaslultanan Cirebon antara lain;
  • Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
  • Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[2]
  • Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat olehFatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
  • Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
  • Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.

Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
  1. Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
  2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
  3. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu KesultananKacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan, Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya  campur tangan VOC dalam kerajaan yang mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.

Kesultanan Demak (1500 - 1550)
Penyebaran agama Islam di Indonesia dimulai dari para bangsa Arab, Cina, dan Persia yang datang ke Indonesia dengan tujuan untuk berdagang. Dalam perjalanannya menuju Indonesia, para pedagang mengalami banyak proses disetiap daerah, terutama di Pulau Jawa. Agama Islam berangsur-angsur berkembang menjadi agama paling besar di Jawa karena dibeberapa titik temu perdagangan laut Internasional terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi, penyebaran Islam di Jawa dibawa para pedagang melalui jalur laut. Meluasnya penyebaran agama Islam dengan menyerang dan merebut kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Menjelang akhir abad ke-15 seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu di Pulau Jawa berganti dengan berdirinya Kerajaan Demak yang menyebarluaskan agama Islam di Pulau Jawa.
Ketika kerajaan Majapahit mulai mundur, banyak bupati yang ada di daerah pantai utara Pulau Jawa melepaskan diri. Bupati-bupati itu membentuk suatu persekutuan  di bawah pimpinan Demak. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, berdirilah kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama dipulau Jawa. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak adalah sebagai berikut :
  • Raden Patah
Raden Patah memerintah Demak dari tahun 1500-1518 M. Di bawah pemerintahan Raden Patah, Kerajaan Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil beras. Oleh karena itu, Kerajaan Demak menjadi kerajaan agraris-maritim. Pada masa pemerintahan Raden Patah, dibangun Masjid Demak yang proses pembangunan masjid itu dibantu oleh para wali atau sunan. Raden Fatah tampil sebagai raja pertama Kerajaan Demak.
  • Adipati Unus
Setelah Raden Fatah wafat, tahta Kerajaan Demak dipegang oleh Adipati Unus adalah putra sulung dari Radern Patah. Ia memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M. Masa pemerintahan Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia meninggal dalam usia yang masih muda dan tidak meninggalkan seorang putera mahkota. Adipati Unus meninggal saat melakukan peryerbuan ke Malaka melawan Portugis.
  • Sultan Trenggana
Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Dibawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah Jawa Barat. Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana.

Awal berdirinya Kerajaan Demak dimulai dari runtuhnya kerajaan Majapahit yang diberi tanda Candra Sengkala: Sirna hilang Kertaning Bumi, yang berarti tahun saka 1400 atau 1478 M yang disebabkan karena perang saudara sehingga wilayah kekuasaannya memisahkan diriSementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Demak, dan berdiri pada tahun 1478 M, oleh Raden Patah.  Dari gelarnya, yaitu raden, dapat diduga ia bertalian darah dengan penguasa lama.
Letak kerjaan Demak berada di tepi pantai utara Pulau Jawa. Kerajaan ini sering dikunjungi pedagang-pedagang  Islam dan pedagang asing untuk membeli beras, madu,lilin dan lain-lain. Sampai abad ke 15, Demak di bawah kekuasaan Majapahit. Akan tetapi setelah Majapahit mundur, Demak berkembang pesat sebagai tempat penyebaran agama Islam dan tempat perdagangan yang ramai. Sebagai penguasa pertama adalah Raden Fatah. Selain menjadi penguasa (bupati), Raden Fatah juga sebagai penyiar agama Islam. Raden Fatah memisahkan diri dari Majapahit sekitar tahun 1500. Dengan bantuan para wali, Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Pulau Jawa yaitu kerajaan Demak.
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya, bahwa letak Demak sangat strategis di jalur perdagangan nusantara memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian barat. Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Dan hal ini juga didukung oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai Pulau Jawa. Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi.
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Demak telah berjalan teratur. Pemerintahan diatur dengan hukum Islam. Akan tetapi, norma-norma atau tradisi-tradisi lama tidak ditinggalkan begitu saja. Hasil kebudayaan Kerajaan Demak merupakan kebudayaan yang berkaitan dengan Islam. Hasil kebudayaannya yang cukup terkenal dan sampai sekarang masih tetap berdiri adalah Masjid Agung Demak. Masjid itu merupakan lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan Islam. Masjid Agung Demak selain kaya dengan ukir-ukiran bercirikan Islam juga memiliki keistimewaan, yaitu salah satu tiangnya dibuat dari kumpulan sisa-sisa kayu bekas pembangunan masjid itu sendiri yang disatukan (tatal).
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka. Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546).
Setelah wafatnya Sultan Trenggana menimbulkan kekacauan politik yang hebat di keraton Demak. Negeri-negeri bagian (kadipaten) berusaha melepaskan diri dan tidak mengakui lagi kekuasaan Demak. Di Demak sendiri timbul pertentangan di antara para waris yang saling berebut tahta. Orang yang seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trengggana adalah pengeran Sekar Seda Ing Lepen. Namun, ia dibunuh oleh Sunan Prawoto yang berharap dapat mewarisi tahta kerajaan.
Adipati Jipang yang beranama Arya Penangsang, anak laki-laki Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, tidak tinggal diam karena ia merasa lebih berhak mewarisi tahta Demak. Sunan Prawoto dengan beberapa pendukungnya berhasil dibunuh dan Arya Penangsang berhasil naik tahta. Akan tetapi, Arya Penangsang tidak berkuasa lama karena ia kemudian di kalahkan oleh Jaka Tingkir yang di bantu oleh Kiyai Gede Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta Ki Penjawi. Jaka tingkir naik tahta dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Handiwijaya serta memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang pada tahun 1568.
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya wafat. Putranya yang bernama Pangeran Benawa diangkat menjadi penggantinya. Timbul pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Panggiri, putra Sunan Prawoto, ia merasa mempunyai hak atasa tahta Pajang. Pemberontakan itu dapat digagalkan oleh Pangeran Benawan dengan bantuan Sutawijaya.
Pengeran Benawan menyadari bahwa dirinya lemah, tidak mampu mengendalikan pemerintahan, apalagi menghadapi musuh-musuh dan bupati-bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Pajang kepada saudara angkatnya, Sutawijaya pada tahun 1586. Pada waktu itu Sutawijaya telah menjabat bupati Mataram, sehingga pusat kerajaan Pajang dipindahkan ke Mataram.
Peninggalan Kerajaan Demak yang masih tersimpan di Museum Masjid Agung meliputi:
  1. Soko Majapahit, tiang ini berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.
  2. Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap ( genteng dari kayu ) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan tahun 1866 M.
  3. Surya Majapahit, merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.
  4. Maksurah, merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.
  5. Pintu Bledeg, pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
  6. Mihrab atau tempat pengimaman, didalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit.
  7. Dampar Kencana, benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi. Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, secara universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan Patih Gajah Mada.
  8. Soko Tatal/Soko Guru, yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.
  9. Situs Kolam Wudlu. Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.

Kesultanan Banten (1524 - 1813 )
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Seiring dengan kemunduran Kerajaan Demak yang telah ditinggalkan oleh Trenggono wafat, Banten pun akhirnya memisahkan diri dari Demak dan menjadi kerajaan yang Mandiri. Awal berdirinya Kerajaan Banten dimulai oleh naik tahtanya Maulana Yusuf yang merupakan anak dari Maulana Hasanudin. Sekitar tahun 1570, Maulana Yusuf yang baru naik tahta kemudian menaklukan Pakuan Pajajaran. Melalui ekspansi ke kawasan pedalaman Sunda, pada 1579 Pakuan Pajajaran pun berhasil ditaklukan.
Berkembangnya Kerajaan Banten, tidak dapat dipisahkan dari peranan raja-raja yang pernah Kerajaan Banten, antara lain;
  1. Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570)
  2. Sultan Maulana Yusuf (1570-1580)
  3. Sultan Maulana Muhammad (1580-1596)
  4. Pangeran Ratu (1596-1651)
  5. Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672)
  6. Sultan Haji (1672-1686)
  7. Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
  8. Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
  9. Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
  10. Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
  11. Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
  12. Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
  13. Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
  14. Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
  15. Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
  16. Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
  17. Aliyuddin II (1803-1808)
  18. Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
  19. Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
  20. Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, muncul konflik di istana kerajaan yang disebabkan oleh penentangan yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC. Hal ini tidak disetujui oleh Sultan Haji selaku raja muda pada saat itu sehingga terjadi keretakan di dalam istana yang oleh VOC kemudian dimanfaatkan dengan mengusung politik Devide et Impera. VOC kemudian membantu Sultan Haji dalam menentang Sultan Ageng Tirtayasa sehingga kekuasaannya berakhir di bawah naungan VOC. Hal ini kemudian membuat raja-raja yang menguasi kesultanan Banten adalah raja-raja yang lemah dalam hal pemerintahan sehingga lambat laun, kesultanan Banten pun mengalami kemunduran.
Pada tahun 1680, perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji di Kesultanan Banten tidak bisa dielakkan. VOC yang saat itu melihat pertikaian tersebut kemudian berusaha menjalankan politiknya dengan membantu Sultan Haji melancarkan serangan terhadap Sultan Ageng Tirtayasa.
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12Maret1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22Agustus1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17April1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. SultanAbuFadhlMuhammadYahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan SultanAbul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
Peninggalan kepurbakalaan tersebut adalah :
  • Komplek Keraton Surosowan
  • Komplek Mesjid Agung
  • Meriam Ki Amuk
  • Mesjid Pacinan Tinggi
  • Komplek Keraton Kaibon
  • Mesjid Koja
  • Kerkhof
  • Benteng Spelwijk
  • Klenteng Cina
  • Watu Gilang
  • Makam Kerabat Sultan
  • Mesjid Agung Kenari
  • Benda-benda purbakala di Museum Banten

Kesultanan Pajang (1568 - 1618)
Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang , Kota Solo dan Desa Makamhaji,Karatsura,Sukoharjo. Pada awalnya berdiri tahun 1549, wilayah kesultanan pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggono. Ditahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam Kesempatan iu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri - negeri Jawa Timur.
Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Setelah Majapahit mengalami kemunduran atau lebih tepatnya pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18 para penulis  kertasura menuliskan asal-usul kerajaan pajang. Kerajaan Pajang adalah kerajaan islam di Jawa yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Kerajaan pajang terletak di pengging yang dulunya dipimpin oleh Ki Ageng Pengging selaku Bupati. Yang kemudian dihukum mati oleh raja Demak karena dugaan ingin berontak terhadap kerajaan Demak. Setelah dewasa Jaka Tingkir mengabdikan diri ke Demak, karena kepandaiannya ia diangkat menjadi menantu oleh Sultan Trenggono.
Setelah sultanTrenggono meninggal terjadi perebutan kekuasaan ataran pangeran Sekar Sedolepan dengan Sunan Prawoto. Setelaha sunan Prawoto menjadi raja beliau berhasil dibunuh oleh Arya Penangsang anak Pangeran Sekar Sedolepan tetapi Arya Penangsang berhasil dikalahkan oleh Jaka tingkir yang kemudian dinobatkan menjadi raja dengan nama Hadiwijaya dan beliau memindahkan semua daerah kekuasaan ke Pajang. Ada tiga raja yang pernah memimpin kerajaan pajang, raja pertama adalah Hadiwijaya pendiri kerajaan Pajang itu sendiri. Yang kedua adalah Arya Pangiri anak angkat sekaligus menantunya yang awalnya memimpin Demak. Yang ketiga adalah pangeran Benawa anak kandung Hadiwijaya yang kemudain merebut  kekuasaan dari tangan Arya Pangiri.
Kerajaan Pajang dipuncak masa keemasan pada masa kepemimpinan Hadiwijaya, dimana beliau dapat membuat para Raja penting di Jawa timur mengakui kekuasaanya. Beliau berhasil memperluas daerahnya. Selain memperluas dearahnya Pajang mempunyai lumbung padi yang besar karena irigasinya berjalan lancar. Dalam aspek sosial budaya dan ekonomi Pajang mengalami kemajuan. Dibidang sosial Budaya, kebudayaan yang semula sudah berkembang di Demak dan Jepara menyebar kepedalaman begitupun dengan agama islam yang perlahan menyebar di pedalaman dan pesisir pantai utara dan masyarakat Pajang menjalankan syariat islam dengan sungguh-sungguh. Dalam aspek ekonomi pertanian maju dengan pesat, memiliki lumbung padi yang besar bahkan Pajang sudah melakukan eksport beras melalui perniagaan bengawan solo.
Raja-raja auang pernah memerintah di Kasultanan Pajang antara lain;
  • Jaka Tingkir
Nama kecil Jaka Tingkir adalah Mas Krebet. Hal tersebut dikarenakan ketika kelahiran Jaka Tingkir, sedang ada pertunjukan wayang beber di rumahnya. Saat remaja, ia memiliki nama Jaka Tingkir. Nama itu dinisbatkan pada tempat dimana ia dibesarkan. Pada perkembangannya, Jaka Tingkir menjadi menantu dari Sultan Trenggana (Sultan Kerajaan Demak). Setelah berkuasa di Pajang, ia kemudian mendapat gelar “Hadiwijaya”. Jaka Tingkir berasal dari daerah Pengging, di Lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir juga merupakan cucu dari Sunan Kalijaga yang berasal dari daerah Kadilangun.
  • Arya Pengiri
Saat memerintah Pajang, Arya Pengiri terkesan kurang bijaksana. Oleh sebab itu, pada tahun 1588 Pangeran Benawa atas bantuan Senopati dari Mataram mengambil alih takhta Kesultanan Pajang. Senopati sendiri merupakan anak angkat Sultan Adiwijaya. Sejak saat itu, Pajang diperintah oleh  Pangeran benawa.
  • Pangeran Benawa
Setelah berhasil mendapatkan kembali tahta Kesultanan Pajang, pangeran benawa menyerahkan kekuasaannya kepada Senopati yang dianggap sebagai saudaranya sendiri. Namun, Senopati lebih suka tinggal di Mataram, sehingga Pangeran benawa tetap menjadi Raja Pajang.
  • Gagak Bening
Sepeninggalan Pangeran Benawa, Pajang diperintah oleh gagak Bening. Gagak Bening adalah seorang Pangeran dari Mataram. Dalam pemerintahannya, Gagak Bening banyak melakukan perombakan dan perluasan istana. Pemerintahan Gagak Bening tidak berlangsung lama, hanya sampai tahun 1591.
  • Pangeran Benawa II
Setelah Gagak Bening wafat tahun 1591, dia digantikan oleh Pangeran Benawa, cucu Sultan Adiwijaya. Ketika memerintah Pajang, Pangeran Benawa masih muda, dia dikenal dengan Pangeran Benawa II. Pada masa pemerintahannya, pajang tidak banyak mengalami kesulitan.

Sepeninggalan Sultan Adiwijaya pada 1587, kerajaan Pajang ditaklukan oleh negara bawahannya, mataram. Keterangan mengenai hal ini pada umumnya hanya terdapat dalam buku-buku babad, terutama Babad Tanah Jawi, yang ditulis oleh para pujangga Mataram satu abad kemudian. Mudah dipahami apabila banyak keterangan-keterangan yang lebih memihak kepada mataram, namun bahwa pertengahan terakhir abad ke-16 para sultan Pajang hanyalah berkedudukan sebagai raja bawahan dari kerajaan mataram adalah pasti.
Sesudah sultan Adiwijaya masih ada lima raja lagi yang berturut-turut memerintah di Pajang. Ahli waris pertama kerajaan Pajang ialah tiga putra menantu Sultan, yakni Raja di Tuban, Raja di Demak dan raja di Arisbaya, disamping putranya sendiri, pangeran Banawa, yang masih sangat muda ketika ayahnya meninggal dunia.
Menurut Babad Mataram Pangeran Banawa menyerahkan hak waris kerajaanya kepada Senapati Mataram yang dianggapnya sebagai kakak. Tetapi Senapati ingin tetap tinggal di Mataram dan ia hanya minta perhiasan emas intan kerajaan Pajang. Pangeran Banawa dikukuhkan sebagai raja Pajang di bawah perlindungannya.
Pada tahun 1617-1618 Pajang mendapat dukungan dari banyak pihak untuk melepaskan diri dari Mataram. Maka Pajang kemudian menyerang Mataram. Namun pemberontakan Pajang terhadap Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung telah mengancurkan Pajang untuk selama-lamanya.
Menurut catatan VOC pemberontakan itu terjadi pada masa musim kering yang luar biasa hebatnya yang berlangsung dari tahun 1618-1624.
Sebagai hukuman atas pemberontakan yang berupa tidak mau menyetorkan hasil berasnya kepada Mataram, sawah-sawah di Pajang yang padinya sedang menguning dibakar habis oleh pasukan Mataram. Para petani yang terlibat dalam pemberontakan itu kemudian diangkut secara paksa ke Mataram. Tenaga mereka dimanfaatkan dalam pembangunan kraton baru di Plered yang letaknya 1 km sebelah timur laut ibukota Mataram yang lama. Sesudah itu Pajang tidak lagi berarti baik politik ataupun ekonomi.

Kesultanan Mataram (1586 - 1755)
Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan islam terbersar yang ada ditanah air khususnya di pulau jawa. Kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam terbesar di Jawa yang hingga kini masih mampu bertahan melewati masa-masa berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, walaupun dalam wujud yang berbeda dengan terbaginya kerajaan ini menjadi empat pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Sebelumnya memang ada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Tengah) yang lain yang mendahului, seperti Demak dan Pajang. Namun sejak runtuhnya dua kerajaan itu, Mataramlah yang hingga puluhan tahun tetap eksis dan memiliki banyak kisah dan mitos yang selalu menyertai perkembangannya. Paling tidak Mataram berkembang dengan diringi oleh mitos perebutan kekuasaan yang panjang. Karena itu informasi tentang kerajaan mataram islam tidak begitu sulit kita dapat karena himgga saat ini kerajaan tersebut masih eksis di tanah Jawa walaupun dengan konteks yang berbeda.
Kerajaan mataram berdiri pada tahun 1582. pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah memerintah di Kerajaan mataram yaitu penembahan senopati (1584 – 1601), panembahan Seda Krapyak (1601 – 1677). Lahirnya Mataram Islam berkaitan dengan perkembangan kerajaan Pajang. Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sutan Hadiwijaya (1546-1586), Joko Tingkir atau Mas Karebet harus berperang melawan Adipati Jipang yang bernama Arya Penangsang. Joko Tingkir dapat mengalahkan Arya Penangsang berkat bantuan Danang Sataujaya. Namun, kemenangan itu terjadi karena strategi bagus yang diberikan oleh ayah Danang Sataujaya (yaitu Ki Ageng Pemanahan) dan tokoh lainnya yang  bernama Penjawi. Oleh karena itu, Sutan Hadiwijaya memberi hadiah tanah Mentaok (sekitar Kota Gede Yogyakarta) kepada Ki Ageng Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan membangun Mentaok menjadi sebuah Kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Pajang. Danang Sataujaya (putra Ki Ageng Pemanahan) menjadikan Kadipaten yang dibangun ayahnya itu menjadi sebuah kerajaan baru yang bernama Mataram Islam. Saat itu, setelah Sutan Hadiwijaya wafat, Pajang merosot. Danang menjadi raja pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1584-1601). Selama masa kepemimpinanya, semua daerah di Jawa bagian tengah dan timur (kecuali Blambangan) berhasil ia taklukkan.
Pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Istana Kerajaan Mataram Islam bagian dalam di bangun  benteng dalam (cepuri) yangmengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga di lengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai. Wilayah kekuasaan Mataram mencapai Jawa Barat (kecuali Banten), Jawa Tengah, Jawa Timur,  Sukadana (Kalimantan Selatan), Nusa Tenggara. Palembang dan Jambi pun menyatakan vasal kepada Mataram.
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad ke-17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar.
Raja-Raja Mataram Islam :
  1. Panembahan Senopati (1584-1601 M)
  2. Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak (1601- 1613 M)
  3. Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman (1613-1646 M)
  4. Amangkurat I (1646- 1676 M)
  5. Amangkurat II dikenal juga sebagai Sunan Amral (1677- 1703 M)
  6. Sunan Mas atau Amangkurat III pada 1703 M
  7. Pangeran Puger yang bergelar Paku Buwana I (1703-1719 M)
  8. Amangkurat IVdikenal sebagai Sunan Prabu (1719-1727 M)
  9. Paku Buwana II (1727-1749 M)
  10. Paku Buwana III pada 1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC.
Setelah Panembahan Senopati meninggal kekuasaannya digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau Panembahan Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12 tahun (1601-1613), tercatat bahwa pada pemerintahannya beliau membangun sebuah taman Danalaya di sebelah barat kraton. Pemerintahannya berakhir ketika beliau meninggal di hutan Krapyak ketika beliau sedang berburu. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. ia juga memindahkan pusat kerajaan di Pered .
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti kolonialisme itu menyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629). Menurut Moejanto seperti yang  dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi, dan tidak terbagi-bagi.
Kerajaan Mataram Islam runtuh akibat adanya campur tangan VOC sejak zaman pemerintahan Sunan Amangkurat 1 (Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama) yang meliputi hal politik untuk melawan Trunajaya.
Akibatnya muncul pemberontakan Trunajaya (Madura) yang dibantu oleh Pangeran Kajoran dan para pejabat dan masyarakat yang sudah sangat tertekan. Tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Istana Plered berhasil direbut kembali oleh Pangeran Puger (Kanjeng Susuhunan ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panata Gama) yang menyerang dari Jenar. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Sepeninggal Amangkurat I dia digantikan oleh Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680)
Setelah Amangkurat II meninggal diganti Amangkurat III, tetapi VOC tidak senang dengan Amangkurat III karena dia menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja, akibatnya Mataram memiliki dua raja dan inilah yang menjadikan perpecahan Internal, Amangkurat III akhirnya memberontak tapi akhirnya kalah dan ditangkap di Batavia lalu diasingkan di Ceylon, Srilanka dan meninggal tahun 1734.
Kekacauan politik dari masa kemasa akhirnya dapat terselesaikan pada masa Pakubuana III  setelah wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Suarakarta  tanggal 13 Februari 1755, pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti , perjanjian Giyanti adalah kesepakatan yang dibuat oleh pihak VOC, pihak Mataram( diwakili oleh Pakubuwana III) dan kelompok pangeran Mangkubumi. Nama Giyanti diambil dari lokasi penjanjian tersebut ( ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi didukuh Kerten , Desa Jantiharjo) ditenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah, perjanjian ini menandai berakhirnya kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen.


Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (1755-sekarang)
Berdasarkan perjanjian Giyanti 1755, Kesultanan Mataram dibagi atas dua kerajaan yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta. Luas wilayah Kesultanan Yogyakarta hasil dari perjanjian Giyanti mencapai 53.100 cacah dari wilayah Negaragung/Negarigung Mataram dan 33.950 cacah dari Monconegoro/Monconegari. Wilayahnya sendiri mencakup setengah wilayah Mataram, Gunung Kidul, Grobogan, sebagian Kedu dan Bagelen yang dijadikan wilayah Negarigung baru. Kemudian Yogyakarta juga mendapatkan wilayah Madiun, Magetan, Caruban, sebagian Pacitan, Japan, Jipang, daerah Teras Karas (Ngawen) serta makam raja-raja lama di Sela. Daerah-daerah tersebut dijadikan wilayah Monconegoro Wetan. Sedangkan di sebelah barat, Kesultanan Yogyakarta mendapatkan wilayah Roma (Karanganyar) yang dijadikan sebagai wilayah Monconegoro Kulon. Wilayah bekas Mataram lain yang tidak termasuk ke dalam wilayah tersebut merupakan wilayah Kasunanan Surakarta.
Pangeran Mangkubumi yang kemudian diangkat menjadi Sultan atas setengah wilayah Mataram menetapkan pusat pemerintahannya di Yogyakarta. Sebagai Sultan atas Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Khalifatullah Ngabdurrahman Sayiddin Panatagama Ingkang Jumeneng Ing Negari Yogyakarta Hadiningrat Ingkang Jumeneng Sepisan. Dalam penyebutannya, gelar yang kemudian dikenal ialah Sultan Hamengkubuwana I.
Hamengkubuwana I sebagai penguasa baru di wilayah bekas Mataram meskipun telah mendapatkan keinginannya, masih harus menghadapi ancaman dari luar. Terdapat pemberontakan Mas Said yang sewaktu-waktu dapat mengancam kekuasaannya. Mas Said pun bukan hanya ancaman bagi Hamengkubuwana I, Pakubuwana III maupun VOC juga merasa terancam atas tindakan pemberontakannya itu. Pada bulan Oktober 1755, bahkan Mas Said berhasil mengalahkan pasukan VOC disusul dengan hampir berhasilnya ia membakar istana baru Yogyakarta pada Februari 1756.
Terdapat suatu gabungan pasukan yang dibentuk antara Surakarta, Yogyakarta dan VOC dalam menghadapi pemberontakan Mas Said tersebut. Namun, pasukan tersebut mengalami kegagalan untuk menawan Mas Said. Di sisi lain, meskipun Mas Said sulit untuk ditangkap ia juga tidak akan sanggup menaklukan gabungan pasukan tersebut. Atas alasan tersebut, ia kemudian mengadakan serangkaian perundingan pada tahun 1756.  Setelah serangkaian perundingan, Mas Said menyerah pada Pakubuwana III pada 24 Februari 1757.  Kemudian, Mas Said mengucapkan sumpah setia kepada ketiga pihak dalam sebuah pertemuan yakni VOC yang diwakili oleh Hartingh, Surakarta dan Yogyakarta yang diwakili oleh utusan Sultan yakni Danurejo I. Pertemuan tersebut dilaksanakan di Salatiga pada 17 Maret 1757 yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Salatiga.  Sebagai imbalan atas sumpah setianya, Mas Said dihadiahi Pakubuwana III sebuah tanah. Namun ia tidak mendapat apa-apa dari Yogyakarta maupun VOC.  Raden Mas Said kemudian diangkat menjadi Pangeran Miji. Sebagai penguasa atas wilayahnya, ia mempunyai gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro I atau lebih dikenal sebagai Mangkunegara I (1757-1795). Wilayah dibawah kendali Pura Mangkunegaran meliputi daerah Kaduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul.  Konflik antar kepentingan di kalangan tiga pembesar kerajaan Jawa tersebut. Hamengkubuwana I sebenarnya merasa tidak senang dengan kemunculan wilayah Mangkunegara karena dianggap membahayakan kekuasaannya.
Pada dekade akhir abad ke-18, suatu keadaan yang relatif aman telah terjalin diantara kerajaan-kerajaan bekas Mataram. Pada dekade yang sama pula, Sultan Hamengkubuwana I wafat tepatnya pada 24 Maret 1792.  Ia wafat pada usia delapan puluh tahun dan meninggalkan Yogyakarta menjadi suatu kerajaan yang makmur, permanen dan kuat.
Kuasa Asing yang mempengaruhi Kesultanan Yogyakarta ialah VOC-Belanda dan juga Inggris. Dalam pemerintahan Sultan Hamengkubuwana II, ketegangan muncul akibat pandangan Sultan yang anti kuasa Asing. Ketika baru memulai masa pemerintahannya, Daendels melakukan intervensi langsung pada wilayah Vorstenlanden dengan melakukan tuntutan pengubahan cara raja Jawa memperlakukan utusan Batavia. Para residen wilayah kerajaan Jawa namanya diubah dari ‘Residen’ menjadi ‘Minister’.  Daendels pun menuntut adanya suatu adat keraton yang menempatkan Minister sederajat dengan raja-raja Jawa sendiri. Hal ini tentu ditentang oleh Sultan Hamengkubuwana II. Hal tersebut meningkatkan ketegangan antara Pemerintah kolonial dengan Kesultanan Yogyakarta. Ketegangan diantara keduanya terjadi dengan diwarnai beberapa peristiwa politik.
Masa Pemerintahan Belanda digantikan oleh Inggris pada tanggal 18 September 1811. Setelah kemenangannya dalam menaklukan istana Yogyakarta, Inggris mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan tersebut antara lain Sultan Hamengkubuwana III harus melepaskan wilayah negaragung Kesultanan Yogyakarta di Kedu, Pacitan, Blora, Grobogan, Japan, Jipan, dan Wirosobo kepada Inggris. Selain itu, Sultan harus menyediakan tanah seluas 1000 cacah untuk Kapten Cina Tan Djin Sing. Ia kemudian diangkat sebagai Bupati atas jasa-jasanya terhadap Inggris dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat. Wilayah yang ia kuasai berada di Lowanu sebelah timur Bagelen
Dalam kebijakan Inggris, terdapat salah satu poin yang mempersempit wilayah Kesultanan Yogyakarta. Kebijakan tersebut ialah Sultan harus memberikan tanah seluas 4000 cacah di Adikarto, Kulon Progo kepada Pangeran Natakusuma. Hal tersebut juga karena jasa Pangeran Natakusuma atas kerjasamanya dengan Inggris. Pangeran Natakusuma juga tidak wajib tunduk pada Sultan tetapi langsung berada di bawah perintah Inggris.  Hal tersebut mengindikasikan bahwa muncul suatu kerajaan baru yang berbeda dengan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang menjadi raja atas wilayahnya sejak Maret 1813 bergelar Pangeran Adipati Paku Alam atau lebih dikenal sebagai Paku Alam I.  Wilayah yang terletak di Kulon Progo ini kemudian disebut Paku Alaman.
Ngayogyokarto Hadiningrat, merupakan salah satu dari empat pusat kerajaan Jawa (projo kejawen) yang merupakan pewaris sah kejayaan kebudayaan Mataram. Para raja Mataram dan kemudian para Sultan Yogya mendapat predikat sebgai raja pinandhita dan narendra sudibyo yaitu pencipta (kreator) kebudayaan yang produktif (Purwadi 2007).
Para Sultan bersama para ahli adat, melahirkan gagasan-gagasan asli tentang seni, sastra, sistem sosial, sistem ekonomi, dan seterusnya. Sri Sultan Hamengku Buwono I misalnya, melahirkan banyak karya seni dan arsitektur. Dengan Kraton sebagai pusat, masyarakat Yogya sudah berkembang menjadi sebuah sistem peradaban tersendiri sejak sebelum bergambung dengan RI (1945). Itulah yang disebut dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum diamandemen) sebagai ‘’susunan asli.” Sejak Kraton berdiri, Yogya telah mempunyai sistem pemerintahan tersendiri dan telah melakukan reformasi pada tahun 1926 (reorganisasi Pangreh Praja). Kraton sebagai pusat peradaban terlihat dari pola penyebaran kebudayaan yang memancarkan keluar secara sentrifugal. Dulu, Kraton merupakan pusat pemerintahan politis. Wilayah kekuasaan kasultanan diklasifikasi menurut konsep lapisan konsentris trimandala praja.
Lapisan terdalam yang merupakan wilayah pusat kerajaan disebut nagara, merupakan ibukota kerajaan yang menjadi tempat tinggal raja dan para pejabat penting. Pusat nagara adalah Kraton.
Lapisan kedua, disebut wilayah nagaragung yaitu daerah-daerah sekitar kota (ommanlanden). Lapisan ketiga, disebut wilayah monconagoro yaitu daerah-daerah yang letaknya jauh (buitengawesten).
Dibandingkan dengan Kraton Yogya, Republik Indonesia adalah sebuah peradaban yang masih sangat muda. Yogya turut membidani kelahiran peradaban baru itu. Ketika RI mengalami masa-masa kelahiran yang sangat kritis, Yogya memberi diri menjadi ”ibu pengasuh” dengan segala pengorbanannya. Secara politis itu sangat jelas, ibukota RI dipindah ke Yogya (sejak 1946). Kraton (Sri Sultan Hamengku Buwono IX) mengatur strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk menunjukkan eksistensi RI di mata dunia dan sebagainya. Sejak awal, Yogya telah memberikan banyak nutrisi bagi pertumbuhan peradaban Indonesia. 
Sejak zaman dahulu sampai sekarang Kraton Yogyakarta dipimpin oleh seorang raja. Inilah raja-raja yang pernah memimpin Kraton Yogyakarta :
  • Sri Sultan HB I
Sri Hamengkubuwana I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram).
  • Sri Sultan HB II
Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono II.
  • Sri Sultan HB III
Hamengkubuwana III (1769 – 3 November 1814) adalah putra dari Hamengkubuwana II (Sultan Sepuh). Hamengkubuwana III memegang kekuasaan pada tahun 1810. Setahun kemudian ketika Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di bawah pimpinan Letnan Gubernur Raffles, Sultan Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan dipimpin oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun (1812). Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III keraton Yogyakarta mengalami kemunduran yang besar-besaran.
  • Sri Sultan HB IV
Hamengkubuwono IV (3 April 1804 – 6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot, diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi wali yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Pada masa pemerintahannya diberlakukan sistem sewa tanah untuk swasta tetapi justru merugikan rakyat. Pada tahun 1822 beliau wafat pada saat bertamasya sehingga diberi gelar Sultan Seda Ing Pesiyar (Sultan yang meninggal pada saat berpesiar).
  • Sri Sultan HB V
Hamengkubuwono V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni 1855) bernama kecil Raden Mas Menol dan dinobatkan sebagai raja di kesultanan Yogyakarta dalam usia 3 tahun. Dalam memerintah beliau dibantu dewan perwalian yang antara lain beranggotakan Pangeran Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa pemerintahannya sempat terjadi peristiwa penting yaitu Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung 1825 – 1830. Setelah perang selesai angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga jumlahnya menjadi sama dengan sekarang ini. Selain itu angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam senjata dan personil serta perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu.
  • Sri Sultan HB VI
Hamengkubuwono VI (19 Agustus 1821 – 20 Juli 1877) adalah adik dari Hamengkubuwono V. Hamengkubuwono VI semula bernama Pangeran Adipati Mangkubumi. Kedekatannya dengan Belanda membuatnya mendapat pangkat Letnan Kolonel pada tahun 1839 dan Kolonel pada tahun 1847 dari Belanda.
  • Sri Sultan HB VII
Sri Sultan Hamengkubuwana VII (Bahasa Jawa:Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lahir: 1839 – wafat: 1931 adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877 – 1920. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.. Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877. Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih. Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota(GRM. Akhadiyat, putra HB VII nomor 14) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya. (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_VII 09/01/11 jam 19.04 WIB)
  • Sri Sultan HB VIII
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (3 Maret 1880 – 22 Oktober 1939) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kesultanan Yogyakarta. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8 Februari 1921. Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan.
  • Sri Sultan HB IX
Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Yogyakarta, 12 April 1912-Washington, DC, AS, 1 Oktober 1988) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Beliau juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
  • Sri Sultan HB X
Sri Sultan Hamengkubuwono X (Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 2 April 1946 – sekarang) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 1998. Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram. Hamengkubuwono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM dan dinobatkan sebagai raja pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Dasa.

Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1755-sekarang) 
Pemberontakan Tarunajaya pada tahun 1677, meruntuhkan Kesultanan Mataram dan Sunan Amral memindahkan ibukotanya di Kartasura. Orang-orang Tionghoa yang mendapatkan dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC menyerang Keraton Mataram yang pada masa itu dipimpin oleh Pakubuana II tahun 1742.
Kerajaan Mataram yang terletak di Kartosura itu mengalami keruntuhannya, dan beberapa tahun kemudian, akhirnya Kota kartosura berhasil kembali direbut berkat bantuan dari Adipati Cakraningrat IV sekutu VOC yang menguasai Madura Barat. Namun Kerajaan mataram sudah dalam keadaan rusak parah.
Pakubuana II yang menyingkir ke wilayah Ponorogo, memutuskan untuk membangun sebuah istana baru di Desa Sala, sebagai ibukota Kerajaan Mataram yang baru. Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Mangkuyudha bersama tumenggung Hongowongso, juga komandan pasukan Belanda , J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi keraton yang baru.
Pada tahun 1745 dibangunlah kerton baru 20 Km ke arah tenggara dari Kartosuro, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Pakubuwono membeli tanah seharga selaksa keping emas, guna membangun keraton.
Pusat pemerintahan baru ini di beri nama “Surakarta” diberikan sebagai nama “Wisuda”. menurut catatan, pembangunan Keraton ini menggunakan bahan kayu jati dari hutan didekat Wonogiri kawasan Alas Kethu dan kayunya dihanyutkan melalui jalur air Bengawan Solo. Tanggal 17 Februari 1745, dengan secara resmi keraton mulai ditempati.
Dengan adanya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, menyebabkan pemerintahan Kasunanan Surakarta berpusat di Surakarta, yang dipimpin oleh Pakubuwana III. sedangkan pemerintahan  Kasultanan Yogyakarta berpusat di Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana I.
Kota dan Keraton Yogyakarta mulai dibangun pada awal 1755, dengan desain tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dahulu dibangun. Dengan diberikannya daerah sebelah utara keraton kepada pihak Mangkunagara I (Pangeran sambernyawa), pada perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan.
Adik Pakubuwana II tahun 1746 yaitu pangeran mangkubumi, meninggalkan keraton dan bergabung dengan Raden Mas Said memberontak besar-besaran terhadap Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan.
Di waktu ramainya peperangan,  pada tahun 1748 Pakubuana II meninggal karena sakit yang dia derita. namun sebelum meninggalnya ia sempat menyerahkan kedaulatan kekuasaannya kepada VOC, yang dimana BaronVan Hohendorff sebagai perwakilannya. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap mempunyai kewenangan melantik raja-raja keturunan Mataram.
Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 menyebabkan wilayah Kasunanan Surakarta semakin mengecil, karena diakuinya Raden Mas Said sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaannya yang berstatus kadipaten, yang di sebut dengan jullukan Praja Mangkunegara.
Raden Maas Said sebagai penguasa yang bergelar Adipati Mangkunegara. Seusainya perang Diponegoro pada tahun 1830, wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi, dimana daerah-daerah mancanegara diserahkan kepada Belanda, sebagai ganti rugi karena biaya peperangan.
ejak tahun 1745 sampai sekarang Keraton Kasunanan Surakarta secara berturut-turut diperintah oleh sebelas raja Kasunanan antara lain :
  1. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB II ( 1745 - 1749)
  2. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB III ( 1749 - 1788)
  3. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IV ( 1788 - 1820)
  4. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB V ( 1820 - 1823)
  5. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VI ( 1823 - 1830)
  6. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VII ( 1830 - 1858)
  7. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VIII ( 1858 - 1861)
  8. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IX ( 1861 - 1893)
  9. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X ( 1893 - 1939)
  10. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB XI ( 1939 - 1945)
  11. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X II ( 1945 - Sekarang)

DAFTAR PUSTAKA
https://ilmusejarahadi.blogspot.com/2018/10/makalah-kesultanan-cirebon.html
https://warnetghelegar.blogspot.com/2018/12/makalah-sejarah-kesultanan-cirebon.html
http://blogsyarif07.blogspot.com/2017/03/makalah-kerajaan-cirebon.html
https://www.academia.edu/21502332/MAKALAH_KERAJAAN_DEMAK_BINTORO
http://bestynilma.blogspot.com/2016/05/makalah-sejarah-tentang-kerajaan-demak.html
http://khaidirsyafruddin.blogspot.com/2016/02/sejarah-kerajaan-demak.html
https://www.academia.edu/39110321/MAKALAH_KERAJAAN_DEMAK
https://www.academia.edu/34745283/Makalah_Kesultanan_Banten
http://makalahsekolakita.blogspot.com/2017/03/makalah-kesultanan-banten.html
https://ernanurul27.blogspot.com/2016/07/makalah-kesultanan-banten.htm
http://dickysalju.blogspot.com/2016/06/makalah-kerajaan-pajang.html
https://kangary1996.blogspot.com/2017/09/makalah-kerajaan-pajang.html
http://makalahirfan.blogspot.com/2016/11/kerajaan-pajang.html
http://schooledukasiblog.blogspot.com/2017/04/makalah-kerajaan-mataram-islam.html
http://mochalmin.blogspot.com/2017/03/makalah-sejarah-mataram-islam.html
http://evieliszna.blogspot.com/2015/04/kerajaan-mataram-islam.html
https://www.academia.edu/23735697/DARI_PERPECAHAN_MENUJU_PERPECAHAN_DINAMIKA_KESULTANAN_YOGYAKARTA_HADININGRAT_1755-1813
http://pustaka-makalah.blogspot.com/2011/03/kraton-yogyakarta.html
Shttp://keraton.perpusnas.go.id/node/78
https://wartaindo.news/sejarah-keraton-solo-dan-silsilah-dari-masa-kemasa/
https://pariwisatasolo.surakarta.go.id/destinations/keraton-surakarta-hadiningrat/
http://www.merbabu.com/keraton/keraton_surakarta_hadiningrat1.php