Bangsa Indonesia
telah memasuki sistem demokrasi dan dikenal sebagai negara demokrasi terbesar
ketiga di dunia setelag India dan Amerika Serikat. Sistem demokrasi yang
diterapkan seharusnya dapat mensejahterahkan rakyat seperti amanat yang
tercantum dalam UUD 1945, namun hingga kini masih jauh dari kenyataan.
Kemiskinan yang merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam menyejahterahkan
rakyat merupakan masalah yang sangat mendasar dalam kehidupan kebangsaan
Indonesia. Kemiskinan ini merupakan salah satu faktor melemahnya nasionalisme.
Melemahnya nasionalisme di masyarakat
akibat kemiskinan dan rasa malu berdampak serius pada ranah demografi dan
status kewarganegaraan. Dalam era reformasi dan sistem politik yang demokratis
dan sangat terbuka, terlihat kehidupan masyarakat tidak lebih baik dari masa
sebelumnya. Kondisi ini melahirkan dua golongan di masyarakat. Ada sekelompok
orang yang mulai mempertanyakan manfaat bergabung dengan negara-bangsa
Indonesia, dan ada pula sekelompok orang yang masih mempertahankan Indonesia
dalam wadah NKRI. Kita bukan saja tidak ingin Indonesia bubar, melainkan juga
menginginkan Indonesia aman dan kuat.
Nasionalisme
Indonesia yang berkaitan dengan ikatan budaya dan ketahanan budaya, yaitu bahwa
nasionalisme Indonesia tidak bisa lepas dari masyarakatnya yang multikutural.
Peran ikatan budaya bukan hanya menjadi pemersatu masyarakat, melainkan juga
mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi globalisasi. Saat ini, dapat
dirasakan melemahnya nasionalisme dari masyarakat Indonesia. Seda mengungkapkan
ada dua tantangan dalam mempertahankan nasionalisme yaitu otonomi daerah dan
globalisme. Katanya pula, persoalan nasionalisme terjadi karena nasionalisme
senantiasa dikaitkan dengan negara-bangsa dimana peran negara masih sangat
dominan, dan nasionalisme tidak dihubungkan dengan pasar maupun komunitas.
Sedangkan Mukhlis PaEni, hukum yang seharusnya menjadi panglima tidak lagi
berfungsi sehingga kekerasan ideologi maupun kekerasan fisik menemukan ruang geraknya
yang luas. Dua contoh yang paling relevan adalah aksi radikalisme keagamaan
yang merusak konsensus bersama (Pancasila), dan menguatnya sentimen etnisitas
dan kedaerahan yang mengarah kepada kekuasaan komunitas atau otoritas lokal.
Strategi kebudayaan yang tepat melalui pendidikan agar terciptanya sebuah
tatanan budaya baru yang dapat mewujudkan demokrasi dan fungsi hukum yang
efektif.
Muncul pertanyaan
nasionalisme Indonesia sudah selesaikah? Nasionalisme mencakup banyak aspek
yang bila ditelisik cukup kompleks. Nasionalisme merefleksikan sejarah masa
lalu. Aspek historis yang dikandungnya menyebabkan nasionalisme setiap bangsa
tidak pernah sama. Ada banyak tipe nasionalisme. Syamsudin haris membaginya
menjadi civic nationalism dan collective nationalism. Sementara
Azyumardi Azra lebih berbicara tentang nasionalisme politik, nasionalisme
ekonomi, nasionalisme agama, dan nasionalisme kultural. Selanjutnya, Haris juga
membedakan nasionalisme Indonesia ke dalam nasionalisme politik yang
dikatanaknnya sudah selesai dan nasionalisme kultural yang dipandangnya belum
selesai. Di sisi lain, Azra melihat bahwa nasionalisme politik dan agama sudah
selesai, sementara nasionalisme ekonomi dan nasionalisme budaya sama sekali belum
selesai. Aspek lain nasionalisme adalah aspek hubungan antara beberapa entitas
pendukungnya, yaitu negara, bangsa, dan masyarakat yang membentuk negara-bangsa
ini. Secara implisit Soewarsono dan PaEni berbicara tentang perlunya dialog
lokal nasional.
Berbicara tentang
melemahnya nasionalisme Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari persoalan
konseptual dari nasionalisme itu sendiri. Negara merupakan jangkar utama dari
kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan sebuah negara-bangsa tidak bisa
dilepaskan dari peran masyarakat di dalamnya. Selama nasionalisme dalam
perspektif daerah tidak diberikan kebebasan, maka selama itu pula
etnonasionalisme akan terus bertumbuh dan berkembang subur menjadi kerikil
tajam penghancur nasionalisme. Nasionalisme Indonesia di masa depan hanya mampu
bertahan jika seluruh warga dan para penyelenggara bisa mengelola dengan baik
perbedaan dan keanekaragaman etnik, budayam dan bahasa daerah.
Bila nasionalisme
dan ketahanan budaya dilihat dari segi demografis, akan selalu membahas mengenai
migrasi atau mobilitas penduduk yang secara geografis adalah sebuah kenyataan
sosial yang telah ada sejak hadirnya manusia di muka bumi. Mobilitas penduduk
itu sudah terjadi sebelum lahirnya sistem negara-bangsa. Gejala migrasi,
dikemukakan James Fox, membawa implikasi terhadap berubahnya cara pandang dan
metodologi dalam melihat tingkah laku manusia. Migrasi ini akan mengancam
nasionalisme bila sudah lintas pulau dan bahkan lintas negara. Contoh saja
migrasi besar-besaran orang Madura ke Sampit yang berpenghunikan suku Dayak.
Orang Madura selama bertahun-tahun menguasai tanah kelahiran Dayak tersebut,
hingga akhirnya muncullah peristiwa perang Sampit di tahun 2001. Belum lagi
migrasi lintas negara yang kerap sekali tejadi di daerah perbatasan. Mengalirnya
penduduk dari desa-desa di Entikong je desa-desa yang lebih makmur di Serawak
jelas menunjukkan tipisnya rasa nasionalisme yang dimiliki oleh penduduk yang
pindah, juga sekaligus mencerminkan lemahnya ketahanan budaya dari masyarakat
di perbatasan.
Dalam konteks
wilayah perbatasan, kiranya tidak ada cara lain yang lebih efektif bagi
pemerintah Indonesia selain menciptakan kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi
penduduk yang tinggal di daerah perbatasan. Tanpa disertai upaya negara untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk perbatasan, pendekatan dari pihak
militer yang bersifat militeristik diduga justru akan menciptakan rasa tidak
aman dan merasa dicurigai sebagai antek negara asing, dan nantinya akan
mendorong lebih keras keinginan untuk menyeberang ke negara tetangga.
Nasionalisme
Indonesia dan keberagaman budaya dalam perspektif politik, sebagai titik awal,
ke-Indonesiaan diwujudkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Ke-Indonesiaan atau kebangsaan yang tidak diisi ulang atau tidak diaktualisasi
dalam kebijakan-kebijakan publik, tentu akan berujung pada ke-Indonesiaan yang
stagnasi, baik di tingkat internal maupun dalam interaksinya dengan dunia
global. Sejarah panjang pencarian identitas nasional lahir dari perdebatan
intelektual yang hampir tidak pernah berhenti hingga kini. Perdebatan
intelektual sebagai bagian dari pencarian identitas nasional pernah berlangsung
antara Soekarno dan Agus Salim pada 1920-an, serta antara Soekarno dan Mohammad
Natsir pada 1940-an. Bagi Soekarno, negara dan agama haruslah terpisah satu
sama lain agar tidak saling melemahkan. Soekarno berpandangan dengan menyatunya
negara dan agama akan melahirkan diktator tanpa demokrasi. Sementara itu Agus
Salim dan Natsir berpandangan bahwa persatuan agama dan negara justru diperlukan
agar penyelenggaraan negara sesuai dengan kaidah dan kebenaran agama.
Secara teoritis
pencarian identitas nasional yang dialami bangsa Indonesia sejak awal abad
ke-20 tersebut dapat dipandang sebagai upaya mentransformasukan bentuk
nasionalisme dan nasionalisme kultural ke dalam nasionalisme politik yang
dianggap sebagai ciri nasionalisme modern sebagaimana berkembang di Barat.
Nasionalisme politik di Barat bersifat progresif, modern, berorientasi di masa
kini dan masa depan, serta mengutamakan kebebasan individu. Sedangkan nasionalisme
kultural yang ada di Timur merupakan reaksi dan perlawanan terhadap nilai-nilai
liberal.
Basis nasionalisme
yang mendasari format Indonesia bukanlah etnik, ideologi, maupun agama
tertentu, melainkan ide persatuan di antara kelompok dan golongan yang
berbeda-beda. Eksperimen tentang sistem politik dan format ekonomi yang tepat
bagi Indonesia, terus berlangsung di bawah sistem Demokrasi Parlementer
(1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1967-1998), hingga
reformasi saat ini.
Pengembangan
eksperimentasi pada masa Orde Baru tercantum pada agenda utama Soeharto, yaitu
menciptakan integrasi nasional yang kokoh. Dalam praktir semua upaya untuk
menciptakan integrasi nasional cenderung dilakukan dalam rangka memperkokoh
integrasi kekuasaan elite penguasa yang memperkokoh semua unsur pemerintahan
Orde Baru. Potensi konflik dan disintegrasi berakar pada kecenderungan elite
politik untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Potensi
disintegrasi itu muncul ketika elite politik memanipulasi kepentingan pribadi,
keluarga, dan kelompok sebagai kepentingan nasional untuk melindungi dan
mempertahankan vested interest.
Tak seorangpun
bisa membantah bahwa ide persatuanlah yang dapat menyatukan seluruh Nusantara
bekas wilayah Hindia Belanda dalam Indonesia. Ide persatuan itu acapkali
diinterpretasikan secara dangkal oleh pemerintah yang berkuasa pasca revolusi.
Ketika Soekarno berkuasa penuh atas dukungan militer dan sokongan PKI di bawah
sistem Demokrasi Terpimpin, obsesi persatuan dikampanyekan dalam format
ideologi Nasakom. Nasakom akhirnya menjadi perangkap bagi Soekarno. Lalu di
bawah sistem otoriter Soeharto, bukan hanya melanjutkan upaya menyatukam dan
menyeragamkan ideologi parta-partai dalam asas tunggal Pancasila, melainkan
juga mendistorsikan ide persatuan sebagai kesatuan teritorial ke dalam frasa
NKRI. Gagasan persatuan nasional yang semula lahir dari komitmen keberagaman
yang bersifat lintas etnik, lintas agama, lintas ideologi, dan lintas daerah, pada
akhirnya dipraktikan sebagai teritorial tanpa hak berbagai unsur bangsa untuk
mempersoalkan bagaimana cara negara mempertahankan keutuhan segenap wilayah
Nusantara yang amat beragam.
Menjelang
kelengseran Soeharto memang tidak ada yang mengelola keberagaman menjadi sebuah
fondasi yang kuat. Fenomena sosial politik lebih dari satu dekade reformasi
pasca Soeharto jelas mengindikasikan hal itu. Probematikanya negara bukan hanya
tidak memiliki instrumen institusi dan kebijakan yang adil dalam menyelesiakan konflik
sosial yang berbasis etnik, agama, dan identitas lainnya, tetapi juga acapkali
bersikap tidak netral dalam mengatasinya.
Faktor kegagalan
negara dalam mengawal dan menyantuni perbedaan dan keberagaman sebagai fondasi
bagi nasionalisme Indonesia, yaitu yang pertama karena faktor elite politik
negara. Para elite penyelenggara di semua tingkat serta cabang pemerintahan,
baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Komitmen kepemimpinan, termasuk
dalam pengelolaan keberagaman memang dipidatokan secara langsung setiap
menjelang pemilu, tetapi setelah pemilu usai mereka menjadi elite politik dan
pemerintah yang tidak peduli dengan aneka persoalan bangsa. Selain faktor
institusi, ancaman serius bagi keberagaman dan ketahanan budaya datang dari
unsur-unsur masyarakat. Transformasi sosial ekonomi mengubah orientasi
masyarakat sehingga nilai-nilai solidaritas, toleransi, dan kolektifitas
cenderung semakin tergerus. Realitas tersebut menjelaskna masih terus
berlanjutnya salah urus negara dan pemerintahan sebagai akibat dari rendahnya
komitmen dan kesungguhan para elite penyelenggara negara maupun elite non
negara dalam merawat dan mengelola keberagaman sebagai aset sekaligus fondasi
nasionalisme Indonesia.
Faktor sejarah dan
kebudayaan sangat penting untuk dipahami dalam menjaga nasionalisme dan
ketahanan budaya di Indonesia. Misal saja dua kasus yang akan dicontohkan ini.
Kasus di Aceh, saat Hasan Di Tiro membentuk NAD yang berbeda dengan cita-cita
dari Aceh yang telah sebelumnya dibentuk oleh Daud Beureuh, maka Aceh Tengah
dan Selatan tidak mau bergabung di dalamnya dan keduanya lebih memilih untuk
menjadi kantung dari NKRI. Kelompok Aceh Tengah dan Selatan tidak mau bergabung
ke NAD karena faktor sejarah dan juga faktor kebudayaan. Ada pula kasus
dituntutnya Walikota Singkawang, Hasan Karman untuk meminta ampun kepada
masyarakat Melayu di Kalimantan Barat dan harus dilakukan di hadapan Sultan
Sambas (9th). Ini karena Hasan Karman menulis dalam sebuah makalah bahwa
orang-orang Melayu Kalimantan Barat adalah keturunan perompak laut dan Sultan
Sambas adalah pelindung perompak tersebut.
Persoalan otonomi
daerah di Indonesia memang tak kunjung selesai. Penerapan di masa Hindia
Belanda, formatnya pun tidak pernah selesai. Fatalnya, saat ini sepertinya
jatuh di lubang yang sama karena kita tidak belajar dari sejarah. Di Aceh
memang tidak ada konflik yang mengambil agama sebagai kambing hitam, karena
semuanya beragama yang sama. Hal ini bverbeda dengan konflik yang terjadi di
Gorontalo maupun Maluku Utara yang kerap terjadi konflik antar umat beragama.
Sulawesi Selatan juga mengalami permasalaha, tentang pemekaran kabupaten yang
sebenarnya diakibatkan oleh ketidaktahuan akan sejarah, latar belakang, dan
genealogi kekuasaan di daerah.
Benturan antar
etnik berdampak amat besar bagi kehidupan kebangsaan. Kita memang sudah
mewujudkan NKRI melalui komitmen politik dan kita sudah capai melalui
Proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi komitmen kebudayaan tidak dibangun mengikuti
komitmen politik itu, sementara di lain pihak komitmen politik yang mengikat
NKRI akhir-akhir ini kian mengalami kemerosotan.
Mengenai
nasionalisme Indonesia, dapat diumpamakan dengan teori yang sangat sederhana,
bahwa Indonesia lebih merupakan ‘A
Colonial Nationalism’. Artinya, nasionalisme Indonesia baru dapat dibaca
dalam konteks kolonialisme. Masyarakat kolonial pada masa itu dibagi tiga,
yaitu Eropa, Cina dan Timur Tenang, serta pribumi. Saat ini, ika nasionalisme
Indonesia mengacu pada kesatuan, maka studi-studi adat lebih mengacu pada
perbedaan-perbedaan. Yang terpenting untuk integrasi nasional adalah pribumi
yang terdiri dari kelompok etnik yang suatu saat dapat menjadi ancaman karena
siap berdiri menjadi nasion-nasion. Bisa disimpulkan bahwa semua jenis
nasionalisme itu dapat dibuat asalakan ada cendekiawannya, diskursusnya,
pendukungnya, dan juga medianya.
Menurut Ben
Anderson, bangsa Indonesia adalah imagined
community. Lalu imagined community
yang diusulkan Anderson diubah oleh orang Aceh menjadi bayang-bayang. Kata
orang Aceh, “kita jangan menjadi bagian dari bangsa Indonesia karena bangsa
Indonesia hanya imaji (semu)”. Sebenarnya, kita harus bisa membedakan
nasuonalisme Indonesia yang sederhana tetapi dibuat secata serius dengan
regionalisme yang terkontaminasi dengan kolonialisme. Bhineka Tunggal Ika diartikan
sebagai bangsa bersuku. Selebihnya Castles mengatakan bahwa pemahaman tentang
konsep etnik dan nasionalisme harus dibuat jelas.
Proses globalisasi
dan desentralisasi (otonomi daerah) secara konseptual mendatangkan permasalahan
bagi nasionalisme dan negara-bangsa karena globalisasi berorientasi pada pasar,
sedangkan desentralisasi berorientasi pada komunitas. Nasionalisme tidak
dihubungkan dengan pasar maupun komunitas. Permasalahan konseptual adalah bahwa
selama nasionalisme senantiasa dikaitkan dengan negara-bangsa, maka perimbangan
kekuatan di dalam hubungan triangular negara-bangsa, pasar, dan kounitas,
karena dimaknai sebagai sebuah ancaman bagi keberadaan nasionalisme.
Globalisasi dan otonomi daerah adalah sesuatu yang given dan inevitable. Konsep
negara-bangsa semakin lama menjadi berkurang relevansinya. Dan selama
nasionalisme hanya dikaitkan dengan negara-bangsa maka nasionalisme pun dapat
dianggap semakin tidak bermakna. Baik globalisasi maupun otonomi daerah saling
tarik-menarik dan negara-bangsa dengan nasionalismenya dipersepsikan semakin
tidak lagi relevan pada sekarang ini.
Kasus nasionalisme
yang berhubungan dengan globalisasi dan otonomi daerah, dapat dilihat dari
petani-petani di Flores Barat yang tidak lagi mengimajinasikan dirinya sebagai
bangsa Indonesia, melainkan anggota komunitas lokal Manggarai yang tengah
memperjuangkan keberadaannya du tengan gempuran proses globalisai. Seorang
pengusaha kain tenun di Flores Barat juga tidak lagi mengimajinasikan dirinya
sebagai bangsa Indonesia yang memperjuangkan nasionalisme Indonesia, melainkan
melihat peluang dan bagaimana ia dapat memperdagangkan kain tenun Manggarainya
di pasar global. Globalisasi dan otonomi daerah akan dirasakan sebagai ancaman
selama nasionalisme hanya dikaitkan dengan negara-bangsa. Perubahan di dalam
memaknai dan mengimajinasikan diri inilah yang seharusnya tidak hanya dilihat
sebagai ancaman atau tantangan, tetapi sekaligus peluang bagi kita semua di
masa depan.
Ketahanan budaya
diperlukan oleh masyarakat Indonesia untuk mempertahankan nasionalisme. Yang
dikhawatirkan oleh sebagian kalangan tampaknya adala political natinalism dan bukan cultural
nationalism maupun economic
nationalism. Budaya masyarakat yang terus-menerus dinamis ini merupakan hal
yang positif bagi perubahan sosial masyarakat. Secara kritis dapat
dipertanyakan lebih lanjut sejauh mana peran negara maupun peran pasar di dalam
mempengaruhi perlunya tradisi budaya dilestarikan dan tradisi budaya mana yang
terus-menerus dipertahankan. Hal inilah yang menjadi permasalahan baik secara
komseptual maupun secara empiris bila mengkaji dan membahas ikatan budaya
nasionalisme Indonesia dan ketahanan budaya melalui perspektif sosiologis.