Minggu, 17 Mei 2015

ANALISIS NILAI KESEIMBANGAN DALAM PANCASILA DENGAN TEORI POLITIK THOMAS HOBBES


A.    Pemahaman Terhadap Kesimbangan Nilai pada Pancasila
Secara ontologi Pancasila adalah bukan sekedar ideologi tanpa makna. Tapi merupakan kendaraan atau wahana untuk mencapai suatu kedaulatan tertinggi berdasarkan moralitas harkat dan martabat manusia sebagai mahluk Tuhan. Pancasila merupakan filsafat dan pandangan hidup Bangsa Indonesia yang digali dari bumi pertiwi, dan telah diyakini bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berlaku dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Pancasila sebagai landasan moral bangsa mengisyaratkan bahwa dalam mencapai cita-cita nasional harus menjadi pegangan agar tidak menyimpang dalam mencapai tujuan bangsa dalam mensejahterakan rakyat. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya menjadi pedoman atau dasar bagi bangsa dalam memandang manusia,masyarakat ,bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar negara.Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang nilai-nilainya menjiwai setiap aturan yang berlaku dalam tatanan kehidupan bangsa. Peranan Pancasila sebagai falsafah pandangan hidup bangsa pada hakikatnya merupakan cerminan nilai-nilai dasar Pancasila secara harmonis ,serasi,selaras dan seimbang.
Di dalam Pancasila terdapat kesimbangan antara hubungan vertikal dan horisontal yang menyebabkan kesamaan nilai yang terdapat di dalam Pancasila. Hubungan vertikal yang terdapat didalam pancasila yakni antara manusia dengan sang khalik sebagai penjelmaan nilai-nilai Ketuhanan YME. Didalam hubungan tersebut manusia memahami tentang nilai bahwa (1)  manusia memanfaatkan alam ciptaan tuhan karena pada dasarnya manusia mempercayai bahwa segala sesuatu merupakan ciptaan dari yang kuasa, (2) manusia harus bertaqwa kepada Tuhan YME yakni manusia diharuskan menjalankan perintah-perintah Tuhan sebagai rasa syukur atas ciptaan-Nya,  (3) manusia mempercayai akan ada pembalasan atas amal yang dilakukan manusia di dunia dengan mempercayai adanya surga dan neraka.
Sedangkan hubungan horisontal yang terdapat di dalam nilai pancasila yakni antara manusia dengan sesamanya, baik dalam fungsinya sebagai warga masyarakat, warga bangsa, dan warga negara. Dari sini melahirkan hak dan kewajiban yang harus seimbang. Di dalam nilai yang terdapat di Pancasila terdapat kesimbangan antara hubungan vertikal dan horisontal supaya manusia mengetahui hak dan kewajibanya sebagai masyarakat, warga negara dan makhluk ciptaan tuhan.
B.     Teori Politik Thomas Hobbes
Hobbes menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam.Kemudian negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati.Hilangnya kebebasan warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Untuk mengantisipasi peyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa, Hobbes menyatakan dua hal. Yang Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir. Dan yang kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.
C.    Keterkaitan Teori Politik Thomas Hobbes Terhadap Teori Pancasila
Teori politik Thomas Hobbes pada dasarnya berbanding terbalik dengan teori Pancasila. Teori Hobbes terbentuk pada jaman raja-raja pada masa itu menguasai masyarakatnya . Hal itu dikarenakan pada pemerintahan di zamannya terkenal dengan negara yang absolut. Hobbes tidak mau membenarkan kesewenangan para raja, melainkan ia mau mendasarkan suatu kekuasaan negara yang tidak tergoyahkan. Pada teorinya Thomas Hobbes menggambarkan bahwa manusia itu egois, untuk mengutamakan kepentinganya sering kali manusia menerkam manusia lain (homo homini lupus­) yang menyebakan persaingan dalam masyarakat menjadi tidak rasional, sebab hal ini berlawanan dengan kepentingan asasi itu. Karena itu Thomas hobbes sempat menggambarkan bahwa untuk menjaga perdamaian yaitu dengan membuat undang- undang agar tercipta suatu keadilan dengan mengadakan kontrak sosial, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial diantara mereka. Akan tetapi, perjanjian semacam ini rapuh, dan mereka harus  menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada sebuah lembaga yang disebut negara.
Ajaran sosial Hobbes tentang absolutisme negara dan peran instrumental agama ini mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa Raja harus memiliki kekuasaan mutlak tas ratyaknya. Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bias dilakuakan di negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolute agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif. Dalam karyanya yang berjudul Leviathan, Hobbes menulis tiga asumsi dasar yang pertama bahwa manusia itu sama, yang kedua manusia berinteraksi pada kondisi anarki, dan yang ketiga yaitu manusia dilingkupi oleh kompetisi. Asumsi Hobbes ini sangat mempengaruhi manusia agar tetap dapat berrtahan dalam state of nature dimana yang kuatlah yang bisa menang karena tidak ada pemerintah atau kekuatan yang mengatur mereka (anarki). Hal tersebut berbeda dengan teori Pancasila yang menjunjung nilai keseimbangan dan kesamaan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Pancasila sebagi suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa Pancsila bersifat aktual, dinamis, antisifasif dan senentiasa mampu menyelesaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senentiasa berkambang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan zaman.

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.Sehingga Sila-sila Pancasila yang pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi karena Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat  bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam memaknai Pancasila kita dapat mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat mendominasi sesuatu yang lain. Negara bukanlah suatu alat yang digunakan untuk memaksakan sesuatu kepada masyarakatnya, akan tetapi negara merupakan suatu wadah dimana masyarakat bisa mengaspirasikan pemikiranya atau biasa disebut sistem demokrasi. Jadi dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang ada dalam teori Pancasila meyanggah teori politik yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes. Pada dasaranya suatu terori yang  bersifat probabilite, suatu teori pasti akan mengalami generelasi-generelasi yang baru. Dalam hal ini tidak ada ayng salah pada kedua teori tersebut, akan teteapi tergantung cara pandang dan epistimologo masing-masing tersebut.

Minggu, 10 Mei 2015

RESUME BUKU NASIONALISME DAN KETAHANAN BUDAYA DI INDONESIA SEBUAH TANTANGAN

Bangsa Indonesia telah memasuki sistem demokrasi dan dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelag India dan Amerika Serikat. Sistem demokrasi yang diterapkan seharusnya dapat mensejahterahkan rakyat seperti amanat yang tercantum dalam UUD 1945, namun hingga kini masih jauh dari kenyataan. Kemiskinan yang merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam menyejahterahkan rakyat merupakan masalah yang sangat mendasar dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Kemiskinan ini merupakan salah satu faktor melemahnya nasionalisme.
          Melemahnya nasionalisme di masyarakat akibat kemiskinan dan rasa malu berdampak serius pada ranah demografi dan status kewarganegaraan. Dalam era reformasi dan sistem politik yang demokratis dan sangat terbuka, terlihat kehidupan masyarakat tidak lebih baik dari masa sebelumnya. Kondisi ini melahirkan dua golongan di masyarakat. Ada sekelompok orang yang mulai mempertanyakan manfaat bergabung dengan negara-bangsa Indonesia, dan ada pula sekelompok orang yang masih mempertahankan Indonesia dalam wadah NKRI. Kita bukan saja tidak ingin Indonesia bubar, melainkan juga menginginkan Indonesia aman dan kuat.
Nasionalisme Indonesia yang berkaitan dengan ikatan budaya dan ketahanan budaya, yaitu bahwa nasionalisme Indonesia tidak bisa lepas dari masyarakatnya yang multikutural. Peran ikatan budaya bukan hanya menjadi pemersatu masyarakat, melainkan juga mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi globalisasi. Saat ini, dapat dirasakan melemahnya nasionalisme dari masyarakat Indonesia. Seda mengungkapkan ada dua tantangan dalam mempertahankan nasionalisme yaitu otonomi daerah dan globalisme. Katanya pula, persoalan nasionalisme terjadi karena nasionalisme senantiasa dikaitkan dengan negara-bangsa dimana peran negara masih sangat dominan, dan nasionalisme tidak dihubungkan dengan pasar maupun komunitas. Sedangkan Mukhlis PaEni, hukum yang seharusnya menjadi panglima tidak lagi berfungsi sehingga kekerasan ideologi maupun kekerasan fisik menemukan ruang geraknya yang luas. Dua contoh yang paling relevan adalah aksi radikalisme keagamaan yang merusak konsensus bersama (Pancasila), dan menguatnya sentimen etnisitas dan kedaerahan yang mengarah kepada kekuasaan komunitas atau otoritas lokal. Strategi kebudayaan yang tepat melalui pendidikan agar terciptanya sebuah tatanan budaya baru yang dapat mewujudkan demokrasi dan fungsi hukum yang efektif.
Muncul pertanyaan nasionalisme Indonesia sudah selesaikah? Nasionalisme mencakup banyak aspek yang bila ditelisik cukup kompleks. Nasionalisme merefleksikan sejarah masa lalu. Aspek historis yang dikandungnya menyebabkan nasionalisme setiap bangsa tidak pernah sama. Ada banyak tipe nasionalisme. Syamsudin haris membaginya menjadi civic nationalism dan collective nationalism. Sementara Azyumardi Azra lebih berbicara tentang nasionalisme politik, nasionalisme ekonomi, nasionalisme agama, dan nasionalisme kultural. Selanjutnya, Haris juga membedakan nasionalisme Indonesia ke dalam nasionalisme politik yang dikatanaknnya sudah selesai dan nasionalisme kultural yang dipandangnya belum selesai. Di sisi lain, Azra melihat bahwa nasionalisme politik dan agama sudah selesai, sementara nasionalisme ekonomi dan nasionalisme budaya sama sekali belum selesai. Aspek lain nasionalisme adalah aspek hubungan antara beberapa entitas pendukungnya, yaitu negara, bangsa, dan masyarakat yang membentuk negara-bangsa ini. Secara implisit Soewarsono dan PaEni berbicara tentang perlunya dialog lokal nasional.
Berbicara tentang melemahnya nasionalisme Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari persoalan konseptual dari nasionalisme itu sendiri. Negara merupakan jangkar utama dari kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan sebuah negara-bangsa tidak bisa dilepaskan dari peran masyarakat di dalamnya. Selama nasionalisme dalam perspektif daerah tidak diberikan kebebasan, maka selama itu pula etnonasionalisme akan terus bertumbuh dan berkembang subur menjadi kerikil tajam penghancur nasionalisme. Nasionalisme Indonesia di masa depan hanya mampu bertahan jika seluruh warga dan para penyelenggara bisa mengelola dengan baik perbedaan dan keanekaragaman etnik, budayam dan bahasa daerah.
Bila nasionalisme dan ketahanan budaya dilihat dari segi demografis, akan selalu membahas mengenai migrasi atau mobilitas penduduk yang secara geografis adalah sebuah kenyataan sosial yang telah ada sejak hadirnya manusia di muka bumi. Mobilitas penduduk itu sudah terjadi sebelum lahirnya sistem negara-bangsa. Gejala migrasi, dikemukakan James Fox, membawa implikasi terhadap berubahnya cara pandang dan metodologi dalam melihat tingkah laku manusia. Migrasi ini akan mengancam nasionalisme bila sudah lintas pulau dan bahkan lintas negara. Contoh saja migrasi besar-besaran orang Madura ke Sampit yang berpenghunikan suku Dayak. Orang Madura selama bertahun-tahun menguasai tanah kelahiran Dayak tersebut, hingga akhirnya muncullah peristiwa perang Sampit di tahun 2001. Belum lagi migrasi lintas negara yang kerap sekali tejadi di daerah perbatasan. Mengalirnya penduduk dari desa-desa di Entikong je desa-desa yang lebih makmur di Serawak jelas menunjukkan tipisnya rasa nasionalisme yang dimiliki oleh penduduk yang pindah, juga sekaligus mencerminkan lemahnya ketahanan budaya dari masyarakat di perbatasan.
Dalam konteks wilayah perbatasan, kiranya tidak ada cara lain yang lebih efektif bagi pemerintah Indonesia selain menciptakan kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi penduduk yang tinggal di daerah perbatasan. Tanpa disertai upaya negara untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk perbatasan, pendekatan dari pihak militer yang bersifat militeristik diduga justru akan menciptakan rasa tidak aman dan merasa dicurigai sebagai antek negara asing, dan nantinya akan mendorong lebih keras keinginan untuk menyeberang ke negara tetangga.
Nasionalisme Indonesia dan keberagaman budaya dalam perspektif politik, sebagai titik awal, ke-Indonesiaan diwujudkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Ke-Indonesiaan atau kebangsaan yang tidak diisi ulang atau tidak diaktualisasi dalam kebijakan-kebijakan publik, tentu akan berujung pada ke-Indonesiaan yang stagnasi, baik di tingkat internal maupun dalam interaksinya dengan dunia global. Sejarah panjang pencarian identitas nasional lahir dari perdebatan intelektual yang hampir tidak pernah berhenti hingga kini. Perdebatan intelektual sebagai bagian dari pencarian identitas nasional pernah berlangsung antara Soekarno dan Agus Salim pada 1920-an, serta antara Soekarno dan Mohammad Natsir pada 1940-an. Bagi Soekarno, negara dan agama haruslah terpisah satu sama lain agar tidak saling melemahkan. Soekarno berpandangan dengan menyatunya negara dan agama akan melahirkan diktator tanpa demokrasi. Sementara itu Agus Salim dan Natsir berpandangan bahwa persatuan agama dan negara justru diperlukan agar penyelenggaraan negara sesuai dengan kaidah dan kebenaran agama.
Secara teoritis pencarian identitas nasional yang dialami bangsa Indonesia sejak awal abad ke-20 tersebut dapat dipandang sebagai upaya mentransformasukan bentuk nasionalisme dan nasionalisme kultural ke dalam nasionalisme politik yang dianggap sebagai ciri nasionalisme modern sebagaimana berkembang di Barat. Nasionalisme politik di Barat bersifat progresif, modern, berorientasi di masa kini dan masa depan, serta mengutamakan kebebasan individu. Sedangkan nasionalisme kultural yang ada di Timur merupakan reaksi dan perlawanan terhadap nilai-nilai liberal.
Basis nasionalisme yang mendasari format Indonesia bukanlah etnik, ideologi, maupun agama tertentu, melainkan ide persatuan di antara kelompok dan golongan yang berbeda-beda. Eksperimen tentang sistem politik dan format ekonomi yang tepat bagi Indonesia, terus berlangsung di bawah sistem Demokrasi Parlementer (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1967-1998), hingga reformasi saat ini.
Pengembangan eksperimentasi pada masa Orde Baru tercantum pada agenda utama Soeharto, yaitu menciptakan integrasi nasional yang kokoh. Dalam praktir semua upaya untuk menciptakan integrasi nasional cenderung dilakukan dalam rangka memperkokoh integrasi kekuasaan elite penguasa yang memperkokoh semua unsur pemerintahan Orde Baru. Potensi konflik dan disintegrasi berakar pada kecenderungan elite politik untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Potensi disintegrasi itu muncul ketika elite politik memanipulasi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai kepentingan nasional untuk melindungi dan mempertahankan vested interest.
Tak seorangpun bisa membantah bahwa ide persatuanlah yang dapat menyatukan seluruh Nusantara bekas wilayah Hindia Belanda dalam Indonesia. Ide persatuan itu acapkali diinterpretasikan secara dangkal oleh pemerintah yang berkuasa pasca revolusi. Ketika Soekarno berkuasa penuh atas dukungan militer dan sokongan PKI di bawah sistem Demokrasi Terpimpin, obsesi persatuan dikampanyekan dalam format ideologi Nasakom. Nasakom akhirnya menjadi perangkap bagi Soekarno. Lalu di bawah sistem otoriter Soeharto, bukan hanya melanjutkan upaya menyatukam dan menyeragamkan ideologi parta-partai dalam asas tunggal Pancasila, melainkan juga mendistorsikan ide persatuan sebagai kesatuan teritorial ke dalam frasa NKRI. Gagasan persatuan nasional yang semula lahir dari komitmen keberagaman yang bersifat lintas etnik, lintas agama, lintas ideologi, dan lintas daerah, pada akhirnya dipraktikan sebagai teritorial tanpa hak berbagai unsur bangsa untuk mempersoalkan bagaimana cara negara mempertahankan keutuhan segenap wilayah Nusantara yang amat beragam.
Menjelang kelengseran Soeharto memang tidak ada yang mengelola keberagaman menjadi sebuah fondasi yang kuat. Fenomena sosial politik lebih dari satu dekade reformasi pasca Soeharto jelas mengindikasikan hal itu. Probematikanya negara bukan hanya tidak memiliki instrumen institusi dan kebijakan yang adil dalam menyelesiakan konflik sosial yang berbasis etnik, agama, dan identitas lainnya, tetapi juga acapkali bersikap tidak netral dalam mengatasinya.
Faktor kegagalan negara dalam mengawal dan menyantuni perbedaan dan keberagaman sebagai fondasi bagi nasionalisme Indonesia, yaitu yang pertama karena faktor elite politik negara. Para elite penyelenggara di semua tingkat serta cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Komitmen kepemimpinan, termasuk dalam pengelolaan keberagaman memang dipidatokan secara langsung setiap menjelang pemilu, tetapi setelah pemilu usai mereka menjadi elite politik dan pemerintah yang tidak peduli dengan aneka persoalan bangsa. Selain faktor institusi, ancaman serius bagi keberagaman dan ketahanan budaya datang dari unsur-unsur masyarakat. Transformasi sosial ekonomi mengubah orientasi masyarakat sehingga nilai-nilai solidaritas, toleransi, dan kolektifitas cenderung semakin tergerus. Realitas tersebut menjelaskna masih terus berlanjutnya salah urus negara dan pemerintahan sebagai akibat dari rendahnya komitmen dan kesungguhan para elite penyelenggara negara maupun elite non negara dalam merawat dan mengelola keberagaman sebagai aset sekaligus fondasi nasionalisme Indonesia.
Faktor sejarah dan kebudayaan sangat penting untuk dipahami dalam menjaga nasionalisme dan ketahanan budaya di Indonesia. Misal saja dua kasus yang akan dicontohkan ini. Kasus di Aceh, saat Hasan Di Tiro membentuk NAD yang berbeda dengan cita-cita dari Aceh yang telah sebelumnya dibentuk oleh Daud Beureuh, maka Aceh Tengah dan Selatan tidak mau bergabung di dalamnya dan keduanya lebih memilih untuk menjadi kantung dari NKRI. Kelompok Aceh Tengah dan Selatan tidak mau bergabung ke NAD karena faktor sejarah dan juga faktor kebudayaan. Ada pula kasus dituntutnya Walikota Singkawang, Hasan Karman untuk meminta ampun kepada masyarakat Melayu di Kalimantan Barat dan harus dilakukan di hadapan Sultan Sambas (9th). Ini karena Hasan Karman menulis dalam sebuah makalah bahwa orang-orang Melayu Kalimantan Barat adalah keturunan perompak laut dan Sultan Sambas adalah pelindung perompak tersebut.
Persoalan otonomi daerah di Indonesia memang tak kunjung selesai. Penerapan di masa Hindia Belanda, formatnya pun tidak pernah selesai. Fatalnya, saat ini sepertinya jatuh di lubang yang sama karena kita tidak belajar dari sejarah. Di Aceh memang tidak ada konflik yang mengambil agama sebagai kambing hitam, karena semuanya beragama yang sama. Hal ini bverbeda dengan konflik yang terjadi di Gorontalo maupun Maluku Utara yang kerap terjadi konflik antar umat beragama. Sulawesi Selatan juga mengalami permasalaha, tentang pemekaran kabupaten yang sebenarnya diakibatkan oleh ketidaktahuan akan sejarah, latar belakang, dan genealogi kekuasaan di daerah.
Benturan antar etnik berdampak amat besar bagi kehidupan kebangsaan. Kita memang sudah mewujudkan NKRI melalui komitmen politik dan kita sudah capai melalui Proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi komitmen kebudayaan tidak dibangun mengikuti komitmen politik itu, sementara di lain pihak komitmen politik yang mengikat NKRI akhir-akhir ini kian mengalami kemerosotan.
Mengenai nasionalisme Indonesia, dapat diumpamakan dengan teori yang sangat sederhana, bahwa Indonesia lebih merupakan ‘A Colonial Nationalism’. Artinya, nasionalisme Indonesia baru dapat dibaca dalam konteks kolonialisme. Masyarakat kolonial pada masa itu dibagi tiga, yaitu Eropa, Cina dan Timur Tenang, serta pribumi. Saat ini, ika nasionalisme Indonesia mengacu pada kesatuan, maka studi-studi adat lebih mengacu pada perbedaan-perbedaan. Yang terpenting untuk integrasi nasional adalah pribumi yang terdiri dari kelompok etnik yang suatu saat dapat menjadi ancaman karena siap berdiri menjadi nasion-nasion. Bisa disimpulkan bahwa semua jenis nasionalisme itu dapat dibuat asalakan ada cendekiawannya, diskursusnya, pendukungnya, dan juga medianya.
Menurut Ben Anderson, bangsa Indonesia adalah imagined community. Lalu imagined community yang diusulkan Anderson diubah oleh orang Aceh menjadi bayang-bayang. Kata orang Aceh, “kita jangan menjadi bagian dari bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia hanya imaji (semu)”. Sebenarnya, kita harus bisa membedakan nasuonalisme Indonesia yang sederhana tetapi dibuat secata serius dengan regionalisme yang terkontaminasi dengan kolonialisme. Bhineka Tunggal Ika diartikan sebagai bangsa bersuku. Selebihnya Castles mengatakan bahwa pemahaman tentang konsep etnik dan nasionalisme harus dibuat jelas.
Proses globalisasi dan desentralisasi (otonomi daerah) secara konseptual mendatangkan permasalahan bagi nasionalisme dan negara-bangsa karena globalisasi berorientasi pada pasar, sedangkan desentralisasi berorientasi pada komunitas. Nasionalisme tidak dihubungkan dengan pasar maupun komunitas. Permasalahan konseptual adalah bahwa selama nasionalisme senantiasa dikaitkan dengan negara-bangsa, maka perimbangan kekuatan di dalam hubungan triangular negara-bangsa, pasar, dan kounitas, karena dimaknai sebagai sebuah ancaman bagi keberadaan nasionalisme. Globalisasi dan otonomi daerah adalah sesuatu yang given dan inevitable. Konsep negara-bangsa semakin lama menjadi berkurang relevansinya. Dan selama nasionalisme hanya dikaitkan dengan negara-bangsa maka nasionalisme pun dapat dianggap semakin tidak bermakna. Baik globalisasi maupun otonomi daerah saling tarik-menarik dan negara-bangsa dengan nasionalismenya dipersepsikan semakin tidak lagi relevan pada sekarang ini.
Kasus nasionalisme yang berhubungan dengan globalisasi dan otonomi daerah, dapat dilihat dari petani-petani di Flores Barat yang tidak lagi mengimajinasikan dirinya sebagai bangsa Indonesia, melainkan anggota komunitas lokal Manggarai yang tengah memperjuangkan keberadaannya du tengan gempuran proses globalisai. Seorang pengusaha kain tenun di Flores Barat juga tidak lagi mengimajinasikan dirinya sebagai bangsa Indonesia yang memperjuangkan nasionalisme Indonesia, melainkan melihat peluang dan bagaimana ia dapat memperdagangkan kain tenun Manggarainya di pasar global. Globalisasi dan otonomi daerah akan dirasakan sebagai ancaman selama nasionalisme hanya dikaitkan dengan negara-bangsa. Perubahan di dalam memaknai dan mengimajinasikan diri inilah yang seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ancaman atau tantangan, tetapi sekaligus peluang bagi kita semua di masa depan.

Ketahanan budaya diperlukan oleh masyarakat Indonesia untuk mempertahankan nasionalisme. Yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan tampaknya adala political natinalism dan bukan cultural nationalism maupun economic nationalism. Budaya masyarakat yang terus-menerus dinamis ini merupakan hal yang positif bagi perubahan sosial masyarakat. Secara kritis dapat dipertanyakan lebih lanjut sejauh mana peran negara maupun peran pasar di dalam mempengaruhi perlunya tradisi budaya dilestarikan dan tradisi budaya mana yang terus-menerus dipertahankan. Hal inilah yang menjadi permasalahan baik secara komseptual maupun secara empiris bila mengkaji dan membahas ikatan budaya nasionalisme Indonesia dan ketahanan budaya melalui perspektif sosiologis.

Senin, 04 Mei 2015

PERBANDINGAN MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA MASA HINDIA BELANDA DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN

ANALISIS PERBANDINGAN MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA MASA HINDIA BELANDA DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN

Sebelum kita membahas tentang strutur masyarakat majemuk, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang apa itu masyarakat. Kita tentu sudah sering mendengar kata masyarakat, baik dari orang lain maupun mendengar lewat media elektronik. Bahkan mungkin kita sendiri sering menggunakan kata masyarakat itu sendiri.  Kita tentunya harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu apa itu masyarakat sebelum  kita menggunakan istilah masyarakat tersebut. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang tinggal dalam suatu wilayah dalam waktu yang lama, mempunyai norma/aturan dan mempunyai tujuan yang sama dan menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional yang biasa dilakukan secara paksa (coercy by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah nasional. Setelah PD II contoh masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan dan Suriname. Ciri yang mencolok dan kritikal majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintahan nasional dengan masyarakat suku bangsa dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Pengertian masyarakat majemuk masyarakat multikultural serta ke mana Indonesia termasuk merupakan suatu topik yang menarik untuk disampaikan.
Bhinneka Tunggal Ika, demikian slogan yang dicengkeram oleh Garuda, burung lambang negara kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, atas dasar tersebut, asumsi yang kini terus bertahan adalah Indonesia selalu dianggap majemuk bukan multikultur. Asumsi ini harus mulai dipertanyakan karena pola masyarakat majemuk sarat bias kolonial Belanda. Sejumlah ahli kemasyarakatan Indonesia, semisal Parsudi Suparlan, berupaya mendekonstruksi asumsi majemuk masyarakat Indonesia menjadi multikultural. Asumsi majemuk dianggap tidak sehat dalam menciptakan harmoni dan integrasi Indonesia yang ditengarai berbagai kerusuhan berbias etnis maupun agama. Pada kesempatan ini perlu dinyatakan kaum intelektual Indonesia pun dianggap bertanggung jawab karena turut mempertahankan konsepsi masyarakat majemuk Indonesia ke dalam wacana publik. Faktor penyebab kemajemukan masyarakat Indonesia antara lain sebagai berikut :
1.      Letak suatu negara / masyarakat
Kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, karena letaknya berada di tengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut, maka masyarakat Indonesia telah sejak lama memperoleh pengaruh-pengaruh kebudayaan asing melalui para pedagang asing.
2.      Keadaan geografis suatu negara
Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia kurang lebih 3.000 pulau merupakan faktor yang sangat berpengaruh besar terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia. Keadaan geografis telah memaksa nenek moyang bangsa Indonesia untuk tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis ini mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau atau sebagian pulau di Nusantara tumbuh menjadi kesatuan suku–bangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan suku-bangsa yang lain.
Setiap kesatuan suku-bangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka masing-masing sebagai suatu jenis tersendiri. Mereka pada umunya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang sering didukung oleh mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat tersebut. Hildred Greetz, menyebutkan bahwa jumlah suku-bangsa di Indonesia adalah berjumlah lebih dari 300 ribu suku-bangsa yang masing-masing memiliki bahasa dan identitas cultural yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Skinner, jumlah suku-bangsa Indonesia adalah lebih dar 35 suku-bangsa yang masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama.
3.      Iklim yang berbeda dan keadaan struktur tanah yang berbeda di setiap daerah
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan  kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yaitu : daerah pertainan sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak kita jumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting culivation) yang banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan yang kontras antara Jawa dan Luar Jawa dalam bidang kependudukan, ekonomi, dan sosial-budaya.
Di Indonesia sendiri struktur masyarakatnya ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Nasikun (1995) menjelaskan bahwa secara horizontal, struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku, bangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Furnivall dalam Nasikun (1995) mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia pada masa kolonial dengan membagi struktur masyarakat Indonesia menjadi tiga, yaitu: golongan Eropa, Tionghoa, dan Pribumi. Namun kemudian pluralitas sesudah masa revolusi kemerdekaan harus dimengerti pada konteks perbedaan-perbedaaan internal di antara golongan pribumi itu sendiri (Nasikun, 1995).
Konflik yang timbul dalam struktur masyarakat Indonesia berbeda pada saat masa penjajahan dengan setelah kemerdekaan. Konflik yang terjadi karena pluralitas pada saat penjajahan lebihke arah konflik yang bersifat eksklusif yaitu masalah timbulnya pertentangan didalam pembagian status, kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas pada masyarakat (Nasikun 1995, 72). Perbedaan ras timbul ketika gologan Eropa muncul sebagi kelas atas, Tionghoa sebagai kelas menengah dan pribumi sebagai kelas bawah. Indonesia pada masa Hindia Belanda terintegrasi semata-mata oleh kekuasaan colonial dan oleh paksaan dari suatu kekuatan ekonomi tertentu (Nasikun 1995, 85).  Sedangkan konflik yang terjadi pada saat setelah kemerdekaan merupakan konflik antar golongan-golongan yang bersifat silang-menyilang (Nasikun 1995, 85).Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah dan pelapisan social saling silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaaan golongan yang bersifat silang menyilang pula (Nasikun 1995, 86). Maksudnya dari berbagai ras dan pelapisan social bias menjadi satu golongan yang sama.
Hindia Belanda adalah masa dimana masyarakat Indonesia pada saat itu mengalami kesengsaraan akibat penjajahan Bangsa-bangsa Barat. Sebenarnya bukan hanya kesengsaraan yang didapat masyarakat kita saat itu, banyak pula hal positif yang dapat dirasakan hingga saat ini. Sistem social pada masa ini lebih dikenal dengan masyarakat majemukl, yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Belum terciptanya suatu persatuan dan kesepakatan bersama pada masa ini. Masyarakat Hindia Belanda masih sangat kental dengan feodalisme. Hingga terlahirnya masa Pergerakan Nasional yang dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Dan diperkuat lagi dengan lahirnya Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928. Walaupun bangsa ini sudah memiliki satu tujuan nasional untuk meraih kemerdekaan, namun kemajemukkannya masih tetap ada.
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469). Hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia Belanda dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang disukung oleh para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau primitif.
Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai kekutan iliter dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalalm penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah menganl peradaban dan meraka yang belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering disebut sebagai cirri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula sekali diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana bangsa Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia, memberikan suatu gambaran tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Menurut J.S. Furnivall, Masyarakat Majemuk merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas maupun kelompok-kelompok yang secara budaya dan ekonomi trpisah secara memiliki strukutyr kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya. Nasikun, menyatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan suatu masyrakat yang menganut system nilai yang berbeda di antara berbagai kesatuan sosial yang menjadi anggotanya. Para anggota masyarakat tersebut kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahakan kurang memiliki dasar untuk mengembangkan sikap salaing memahami.
Apa yang ditelisik oleh Furnivall dalam bukunya Hindia Belanda merentang waktu mulai dari 1600-1800 saat masa-masa supremasi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), hingga masa-masa depresi dan krisis pada tahun 1929-1930-an. Dengan cara pandang yang sudah disebutkan diatas, kita dapat melihat bagaimana setiap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat kolonial. Dari rentang yang begitu panjang itu, setidaknya kita dapat mengelompokkan proses pembentukan wilayah kekuasaan dan pemerintahan imperium Hindia Belanda menjadi tiga tahap; tahap pertama  pada masa VOC (1602-1798), saat Negeri Belanda dikuasai oleh klangan Aristokrat di bawah kekuasaan Republik Federal, dan pada tahun 1609 ada penunjukkan Gubernur Jenderal untuk wilayah koloni, dan pada tahun 1619 dibangunlah kantor dagang pertama di Batavia oleh J.P Coen. Tahap kedua ialah masa peralihan (1795-1800), saat Negeri Belanda dikuasai oleh Tentara Revolusioner Perancis, hal ini membuat berubahnya konsep ‘koloni’ itu sendiri. Pada tahap ini situasi Hindia  Belanda dipengaruhi oleh dinamikan yang terjadi di Eropa antara Perancis, Inggris dan Spanyol. Tahap ketiga pada masa pengukuhan wilayah kolonialisme Hindia-Belanda. Artinya, bubarnya VOC sebagai perusahaan kamar dagang, diganti oleh parlemen Belanda yang mengontrol langsung wilayah koloni tersebut.
Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat vertikal. Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal yaitu: pertama, masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (Nasikun, 1987). Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik. Konflik tersebut dibagi Nasikun dalam dua tingkatan, yaitu konflik ideologis dan konflik politius.
Terkait dengan ikatan primordial, Wasino (2013) menyatakan konsep multikulturalisme menjadi isu penting yang akan tersebar di Indonesia. Hal ini penting karena setelah runtuhnya rezim otoritarianisme, atau yang barumenuju masyarakat demokratis harus didukung oleh masyarakat demokratis pula yang menghormati konsep budaya yang berbeda. Idenya sebenarnya merupakan revitalisasi dari pemikiran pendiri Indonesia menuju mengintegrasikan Indonesia orang tanpa memandang warna kulit, etnis, agama, dan kelas sosial.
Konsep pluralitas/kemajemukan yang dibuat oleh Furnivall sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, di mana terdapat tiga golongan yang saling berbeda, yaitu orang-orang kulit putih, keturunan Tionghoa, dan pribumi. Sejak Indonesia mencapai kemerdeakaannya pada 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang sebelumnya menempati kedudukan penting, terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia.  Maka sejak saat itu, pluralitas yang ada adalah pluralitas internal yang terdapat di antara golongan-golongan pribumi, dan memperoleh artinya yang lebih penting daripada apa yang dikemukakan oleh Furnivall.
Konsepsi Furnivall tidak mutlak relevan dengan kondisi masyarakat plural  pasca kemerdekaan Indonesia, apalagi dengan kondisi masyarakat di Indonesia saat ini. Hal ini dapat dilihat dari perwujudan konkret, seperti ada tidaknya ras minoritas yang menguasai ras mayoritas. Namun, menurut Nasikun , konsepsi Furnivall masih memiliki kontinuitas sampai sekarang. Dengan mengabaikan realisasi nyata, kita bisa mendapatkan esensi konsepsi yang terlepas dari ruang dan waktu. Saat ini multikulturalisme harus menyebar ke publik yang lebih luas. Penyebaran konsep multikultural ini dapat dicapai jika orang-orang Indonesia menghormati perbedaan budaya yang ada serta tidak menimbulkan konflik social dan konflik politik (Wasino, 2013).







DAFTAR PUSTAKA

Furnivall, J. S. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.

Nasikun. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


Wasino, W. (2013). INDONESIA: FROM PLURALISM TO MULTICULTURALISM. Paramita: Historical Studies Journal23(2).